Belakangan ini saya merasakan kelelahan yang luar biasa. Kepala pusing dan tubuh meriang. Saya pikir saya akan segera sakit. Saya pun mengadu pada suami.
Mau tahu apa kata suami saya? Ya sudah, kalau sakit ya sakit saja. Itu artinya kamu disuruh istirahat. Jangan kerja melulu. Tubuh juga butuh refreshing.
Degg….
Hening, jengkel, merasa tidak dipedulikan suami.
Yah, saya sempat berpikir seperti itu. Istrinya mau sakit, bukannya dikasihani dan disayang. Kok malah dibiarin sakit. Tapi setelah saya pikir-pikir lagi, suami ada benarnya juga.
Tubuh saya memang butuh istirahat. Terlebih otak saya yang hampir seharian penuh saya ajak berpikir. Tepatnya berpikir tentang tulisan-tulisan saya, riset saya, video saya dan semua pekerjaan kreatif saya.
Otak saya rasanya penuh dan mau pecah. Tidak ada waktu istirahat bagi otak untuk berhenti sejenak dari pekerjaan. Saat makan, menemani anak belajar daring, bahkan saat jalan-jalan. Saya tak lepas dari ponsel dan melakukan pekerjaan sosial media di sana. Belum lagi laptop di rumah yang membuat saya terpaku di tempat. Tidak bisa diganggu kalau sudah di depan layar laptop.
Baca juga :
Suami menegur saya. Kalau saat bersama anak-anak, jangan pegang ponsel. Ada saatnya bekerja, ada saatnya menghabiskan waktu bersama anak-anak tanpa diganggu pekerjaan.
Saya sih inginnya begitu. Tapi deadline tulisan, belum lagi video yang harus segera diedit. Seolah memanggil-manggil saya untuk segera diselesaikan.
Satu pekerjaan belum selesai, datang pekerjaan lain yang menuntut deadline baru. Saya punya kelas menulis juga jadi terbengkalai. Karena pada akhirnya saya kesulitan mengatur waktu.
Sungguh, saya kelelahan fisik dan psikis. Istirahat tidur pun jadi tak nyenyak. Karena saya gunakan malam untuk begadang. Menulis atau membuat video. Apa yang sebenarnya terjadi dengan saya. Kenapa badan dan pikiran saya seakan capek luar biasa.
Daftar Isi
Mengenal Kondisi Burnout
Saya masih merasakan kelelahan luar biasa ketika saya menulis artikel ini. Saya kebingungan, karena tidur dengan rentang waktu yang lebih lama tidak mengubah keadaan saya. Badan saya malah terasa sakit semua dan kepala pening tiada tara.
Apakah saya sedang stress atau mengalami fase depresi?
Setelah saya mencari sumber referensi ke sana ke sini, akhirnya saya menemukan apa yang sebenarnya terjadi dengan saya. Yaitu burnout. Lebih dari sekadar stress atau depresi.
Apa itu burnout?
Menurut psikolog Herbert Freudenberger, yang menemukan istilah burnout pertama kalinya tahun 1970-an, burnout diartikan sebagai kondisi kelelahan mental dan fisik yang disebabkan oleh kehidupan professional seseorang.
Sementara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), menyatakan bahwa burnout adalah sebuah sindrom yang dikonsepkan sebagai hasil dari stress kronis di tempat kerja yang belum berhasil dikelola.
Pernyataan WHO diperkuat oleh Mayo Clinic yang menyebut burnout sebagai kondisi kelelahan fisik dan emosional yang melibatkan pencapaian yang menurun dan hilangnya identitas pribadi.
Dari ketiga pengertian di atas, dapat ditarik satu benang merah. Yaitu kelelahan akibat pekerjaan. Yah, burnout berkaitan dengan pekerjaan.
Banyaknya pekerjaan yang menumpuk, membuat saya kewalahan untuk mengaturnya. Akibatnya otak dipaksa berpikir keras agar semua pekerjaan dapat selesai dengan baik. Nyatanya malah sebaliknya. Tubuh dan otak protes lewat munculnya rasa lelah yang luar biasa.
Apa yang terjadi ketika kita mengalami burnout ?
Setiap orang yang bekerja, kabarnya pernah mengalami kondisi burnout. Baik bekerja kantoran, maupun professional yang bekerja di rumah.
Saya ambil contoh saya saja ya. Selain ibu rumah tangga biasa, saya juga mengelola blog pribadi, menulis naskah skenario, mengolah sosial media dan juga content creator. Saya juga mengajar kelas menulis online yang saat ini terpaksa saya hentikan, karena kondisi saya yang lelah luar biasa.
Saat ini pun rasa lelah itu masih bersarang, meskipun saya sudah tidur lama sekali. Saya panik, karena beberapa hal ini yang saat ini saya alami.
Sulit Konsentrasi
Mungkin karena otak saya sudah penuh, jadi saya mengalami gagal fokus di beberapa hal. Bahkan sulit konsentrasi. Biasanya saya minum kopi untuk mengembalikan konsentrasi saya. Anehnya, kopi masih tak bisa membantu. Kepala saya makin pening setiap kali diajak berpikir.
Kepala pusing dan tubuh meriang
Saya mengadu ke suami soal kepala saya yang sakit dan tubuh meriang. Sepertinya ini gejala mau sakit, seperti yang sudah – sudah. Suami menyuruh saya istirahat saja. Tidur. Jangan megang pekerjaan dulu. Saya menurut. Karena memang sudah tak kuat menahan sakit.
Mudah tersinggung dan marah
Suami termasuk orang yang humoris dan suka guyon. Biasanya saya menanggapinya dengan guyon juga. Entah kenapa, belakangan saya jadi sensi habis.
Guyonannya saya masukkan hati, jadinya saya gampang tersinggung dan ngambek. Saya juga tanpa sadar marahin anak. Tapi habis itu, saya nangis. Gak pernah tega kalau marahin anak. Maafin mama ya. Hiks
Mudah mengantuk dan ingin tidur
Saya juga mudah mengantuk di siang hari. Pengennya tidur melulu. Kalau dibuat rebahan rasanya enak banget. Entahlah, mungkin karena efek lelah di tubuh dan pikiran saya yang menyebabkan rasa kantuk datang.
Lelah luar biasa, sehingga badan terasa sakit semua
Pernah merasakan dipukuli gada di sekujur tubuh? Atau ditusuk jarum dari kepala sampai kaki. Belum ya. Alhamdulillah. Kalau sudah, pasti ngeri banget kan. Nah, saya belum pernah mendapat perlakuan sengeri itu, tapi sudah pernah merasakan gimana rasanya dipukuli gada atau ditusuk jarum sekujur tubuh. Badan sakit semua.
Itulah yang saya rasakan ketika burnout seperti saat ini. Sumpah, badan saya rasanya remuk, sakit, perih. Rasanya seperti dipukuli gada sekujur tubuh dan ditusuk jarum dari kepala sampai kaki. Ditambah kelelahan tingkat dewa seolah habis jalan berkilo-kilo meter di gurun pasir sendirian.
Terdengar hiperbola ya. Tapi memang seperti itu rasanya. Silahkan membayangkan deh, saya sudah ampun-ampun ingin terlepas dari burnout ini.
Ingin menyendiri
Perasaan ingin sendirian juga menyerang saya. Ketika saya lelah fisik dan psikis, satu-satunya yang saya inginkan adalah tinggalkan saya sendiri. Karenanya, saya suka mengurung diri di kamar sambil tiduran. Sedihnya, saya tidak bisa menemani anak saya belajar atau bermain.
Sedih, karena kakak atau adik sering masuk kamar dan tiba-tiba memeluk saya. Ingin mengajak bermain. Sementara saya lelah luar biasa dan inginnya istirahat. Akhirnya saya menemani mereka, tapi hanya menemani saja. Rebahan di samping kedua anak saya yang asyik bermain.
Hilang semangat kerja
Saya melewati fase ini untuk pekerjaan naskah skenario. Sekarang saya sudah tidak bersemangat menulis naskah. Padahal ada pesanan tulisan naskah film pendek. Saya hanya mengerjakan sinopsis dan sceneplot yang Alhamdulillah disukai produsernya. Tapi begitu masuk naskah, males.
Untunglah projectnya suka-suka, bukan project yang kejar tayang seperti naskah ftv. Produsernya pun membebaskan saya kapan bisa menyelesaikan naskah film pendek tersebut. Sementara untuk naskah iklan radio, Alhamdulillah saya bisa menyelesaikannya. Sedikit soalnya. Hanya dua sampai tiga halaman pernah naskah. Itu pun harus meningkatkan mood saya dulu, baru mau menulis.
Ya Allah, kangen nulis naskah skenario sebenarnya. Tapi belum sanggup membayangkan kalau harus begadang untuk menyelesaikan 75-80 halaman selama dua hari. Jadi saya stop dulu deh. Saya mau istirahat sebentar.
Apa yang menyebabkan burnout?
Saya awalnya tidak mengetahui apa yang tengah terjadi dengan diri saya. Sampai akhirnya saya mencari tahu sendiri dan menuliskanya di artikel ini.
Saya pun jadi berpikir, kalau burnout berhubungan dengan pekerjaan. Berarti hal-hal berikut ini yang menyebabkan burnout sampai menyerang saya.
Saya memang tidak mengirim sinopsis dulu untuk ftv. Sementara berhenti sebentar ya pak. Tapi kalau artikel di blog, masih saya terima. Saya pikir bisalah kalau hanya beberapa halaman. Tidak sampai menyita waktu.
Nah, disinilah permasalahannya. Artikel yang saya pikir hanya beberapa halaman itu jadi banyak karena yang dikerjakan lebih dari satu artikel. Belum project endorse yang mewajibkan posting di instagram, atau sosial media lainnya.
Sebenarnya senang karena job datang terus. Tapi satu belum selesai, datang lagi. Itulah yang membuat saya kewalahan.
Kurang bisa memprioritaskan pekerjaan
Kalau saya sedang fokus, biasanya saya bisa memprioritaskan pekerjaan. Namun ketika kondisi burnout, rasanya pengen semuanya cepat kelar. Jadi apa yang ada di depan mata, itulah yang ingin segera diselesaikan. Padahal ada pekerjaan lain yang seharusnya diprioritaskan lebih dulu. Alhasil, berantakan semua.
Terlalu Perfectionist
Saya tipe melankolis sempurna, yang maunya serba perfectionist. Dibumbui drama nangis atau sakit, tak masalah. Yang penting pekerjaan selesai. Itulah yang jadi masalah ketika sedang burnout.
Tak ada yang bisa selesai dengan nilai 100, ketika otak sedang penuh dan tidak bisa berpikir jernih. Kalau sudah begitu, rasa kecewa yang datang. Karena hasil kurang bagus dan tidak sesuai dengan yang diinginkan.
Kurang istirahat
Saya sering bedagang untuk menyelesaikan tulisan. Itu karena malam hari adalah waktu yang tepat untuk menulis. Akibatnya waktu tidur saya hanya satu atau dua jam sehari. Bahkan saya pernah tidak tidur selama dua hari demi menyelesaikan tulisan. Besoknya langsung sakit deh.
Apa yang harus dilakukan untuk menghilangkan burnout?
Burnout bagi saya adalah hal yang mengerikan. Karena psikis saya yang diserang. Kalau dibiarkan terus menerus, saya bisa gila. Jelas saya tak mau dong kehilangan kewarasan saya. Karena itu, saya harus mencari cara untuk segera menghilangnnya.
Kabar baiknya, burnout ini rupanya bisa disembuhkan dan tidak menyerang seseorang secara permanen. Maka inilah yang saya lakukan untuk menanganinya.
Refreshing keluar rumah
Saya paham kalau tubuh saya butuh refreshing. Karenanya saya mengajak suami dan anak anak untuk jalan-jalan keluar rumah. Ngabuburit selama puasa. Mulai keliling kota sampai berakhir ke tempat makan untuk berbuka puasa bersama.
Tidak setiap hari sih, karena suami kerja dan harus mengantar ibu mertua yang tiap dua hari sekali control ke rumah sakit. Kalau seperti itu, refreshing saya adalah jalan-jalan keliling perumahan tempat saya tinggal. Muter-muter aja sama anak-anak. Membebaskan pikiran yang sedang penat. Hehe
Menjauhkan Pekerjaan Sejenak
Saya menjauhkan laptop dan ponsel beberapa saat. Tidak bisa seterusnya karena pekerjaan menanti di sana. Tapi setidaknya saya luangkan waktu, dimana saya tidak memegang keduanya. Bahkan melupakan tulisan saya.
Satu jam atau dua jam cukuplah. Dalam rentang waktu tersebut, saya memikirkan hal lain di luar pekerjaan. Seperti nonton film, atau mencari resep makanan di youtube.
Melakukan hal yang menyenangkan
Hobi saya memang menulis, tapi kali ini saya meninggalkan tulisan dan beralih kepada yang lain. Seperti menemani suami berkebun, jalan-jalan berdua dengan suami mencari takjil, bercanda dengan anak-anak.
Apapun deh, yang penting bisa bikin ketawa. Tanpa memikirkan pekerjaan dulu ya.
Menghabiskan waktu bersama keluarga
Ketika saya menulis, waktu saya bersama anak-anak berkurang. Makanya ketika saya sedang burnout, saya habiskan waktu saya bersama anak-anak dan suami. Main camping-campingan di depan rumah. Ikut anak bermain lego, menemani anak anak belajar membaca, atau berkebun bersama. Pokoknya family time deh.
Olahraga dan makan teratur
Saya jarang olahraga. Tapi ketika burnout menyerang, lari-lari pagi sebentar rupanya bisa membuat badan lebih segar loh. Atau senam beberapa menit di rumah. Merenggangkan otot tubuh agar tidak kaku.
Selain itu, pola makan juga dijaga. Karena sedang puasa, banyakin makan sayur ketika sahur atau berbuka. Juga minum air putih yang banyak. Pokoknya jaga tubuh agar tidak jatuh sakit.
Makan saya memang sedikit, tapi belakangan saya suka ngemil. Diprotes suami sih, karena perut saya makin buncit. Olahraga senam perut dong, biar perutnya gak nggembung seperti orang hamil.
Gemuk itu badannya, bukan perutnya doang. Aduh pak su, iya iya. Ini lagi diusahakan untuk mengecilkan perut. Sabar, gak bisa instan.
Kesimpulan
Bekerja bagi seorang perempuan, apalagi seorang istri bagi suami saya bukanlah keharusan. Saya bekerja juga bukan karena dipaksa, melainkan karena menjalankan hobi menulis saya. Namun terlalu asyik bekerja, sampai melupakan istirahat juga tak baik bagi kesehatan fisik dan psikis.
Saya ingat ketika saya pergi ke dokter kala sakit dulu. Setelah saya diperiksa, sang dokter dengan tersenyum mengatakan kepada saya, bahwa tubuh saya juga tubuh istirahat. Jangan divorsir. Kasihan.
Saya jadi malu, karena saya mementingkan ego saya untuk bekerja keras. Tanpa memperhatikan kebutuhan tubuh saya untuk bernafas.
Maka dari itu, buat teman-teman yang memang menikmati pekerjaan seperti yang saya lakukan. Cobalah untuk mengatur waktu dan tenaga. Agar tubuh dan pikiran punya jatah istirahat yang cukup.
Jangan sampai karena bekerja, kesehatan jiwa dan raga kita jadi terbengkalai. Kalau dipaksakan, produtivitas kita bukannya naik malah menurun.
Tanda bahaya itu, karena produktivita menurun bisa membuat semangat kerja kita ikut menurun sampai akhirnya hilang.
Kalau sudah begitu, kita jadi benar-benar tidak ingin melakukan pekerjaan yang seharusnya menjadi tanggung jawab kita.
Seperti saya, yang saat ini kehilangan semangat menulis naskah skenario. Bahkan bisa dibilang saya stop dulu. Karena menulis naskah skenario ibarat naik roller coster. Harus ngebut, nonstop dan butuh tenaga ekstra. Dua hari harus kelar 75 halaman.
Sebentar ya pak, saya mau istirahat dulu. Sementara ini, ngeblog saja dulu ya. Biar nafasnya gak satu-satu. hehe
Ada yang mengalami masa burnout seperti saya? Yuk atur lagi waktu agar burnout tak lagi menyerang jiwa dan raga.
**
Sumber referensi :
https://www.dropbox.com/id/business/resources/burnout