Saya pernah menjadi mahasiswi. Karena dulunya saya pernah merasakan mengeyam pendidikan di sebuah Universitas Negeri terbaik di kota saya.
Alhamdulillah, bersyukur rasanya karena saya lolos masuk Universitas dengan segala kemudahan yang ada. Belajar yang rajin, berdoa, ikut ujian, dan akhirnya diumumkan kalau saya lolos masuk perguruan tinggi. Tanpa drama yang aneh-aneh tentunya.
Saya ingat betul, bagaimana moment pengumuman penerimaan mahasiswa baru angkatan saya dulu, diwarnai dengan banyak drama.
Bayangkan saja, di satu kampung tempat saya tinggal, sebagian besar anak-anak seusia saya mendaftar di Universitas yang saya tuju. Tapi yang lolos hanya dua orang. Saya dan seorang tetangga saya.
Bedanya kami diterima di jurusan yang berbeda. Saya di MIPA, jurusan Fisika. Sementara Dewi di terima di Fakultas Pertanian.
Saya dan Dewi yang sebelumnya belum terlalu akrab, jadi akrab karena moment drama tersebut. Pasalnya, Dewi bela-belain begadang demi melihat hasil pengumuman yang diumumkan esok harinya. Begitu juga dengan teman-teman satu kampung lainnya.
Saya bagaimana? Kalau sudah ujian ya sudah. Saya serahkan kepada Yang Maha Kuasa. Saya menjalani rutinitas seperti biasa. Tidak ngebet mencari tahu hasil pengumuman lulus tidaknya masuk kampus. Kalau diterima ya Alhamdulillah. Kalau gak diterima ya sudah. Yang penting saya sudah ikhtiar.
MasyaAllah, saat pengumuman muncul di koran esok harinya. Saya dengan cepat menemukan nama saya di daftar peserta ujian yang lolos masuk kampus negeri. Senangnya.
Senangnya lagi, saya seolah mendapatkan kemudahan demi kemudahan saat di kampus. Biaya mendadak diperingan. Begitu juga saat OSPEK dan membutuhkan bahan-bahan yang aneh. Saat itu seingat saya disuruh mencari jagung. Padahal saya pulangnya jam sebelas malam dan harus ada esok harinya. Nyari dimana coba.
Takjubnya, ada saja yang mempermudah. Teman satu kelompok punya jagung di rumahnya. Pokoknya saya merasakan proses masuknya saya ke kampus lancar jaya. Semuanya berkat dukungan orang tua saya dan segala bantuan yang diberikan kepada saya.
Secara tidak langsung, saya masih merepotkan orang tua. Karena ayah yang mengantar jemput saya di kampus dan membantu saya memenuhi segala kebutuhan kuliah.
Baca Juga :
- 5 Kebiasaan Baik Saat Ramadhan
- Tips Memilih Aplikasi Kasir yang Tepat untuk Usaha
- Laptop Asus Expert Book B9400
Daftar Isi
Bersyukur Atas Kemudahan yang diberikan Tuhan
Saya awalnya tidak merasakan kemudahan yang saya hadapi kala itu. Karena saya hanya melihat ke diri saya sendiri. Saya berpikir, setelah belajar dan ikhtiar. Sudah sewajarnya kalau saya bisa masuk kampus terbaik di kota saya dengan begitu mudah.
Saya terhenyak, ketika saya baru menyadari bahwa teman-teman saya tidak seberuntung saya.
Ada yang sudah susah payah belajar, tapi tidak lolos masuk perguruan tinggi negeri.
Ada yang lolos tapi tampak tidak bahagia, karena masuknya di jurusan pilihan kedua. Bahkan teman-teman satu kampung saya, mengadakan semacam pesta karena tidak lolos berjamaah. Padahal sebelumnya sudah menyombong kalau mereka bakalan masuk ke perguruan tinggi terbaik di kota saya. Duuh kalau saya ya malu.
Saya juga diterima di pilihan kedua. Karena pilihan pertama jurusan Teknik Arsitek. Itu juga ngisinya asal saja. Karena saya tidak bisa menggambar.
Jadi singkat cerita, saya masih dilanda kebingungan dalam memilih jurusan di kampus. Bahkan pilihan jurusan fisika, baru saya tulis saat di detik terakhir akan mengumpulkan kertas ujian.
Dilemanya lagi, saya ikut ujian masuk perguruan tinggi negeri setelah saya gagal masuk kampus lewat jalus PSB. Kalau sekarang namanya jalur apa ya, saya kurang update. Kalau tidak salah jalur undangan, karena dipastikan masuk kampus tanpa tes dengan melihat prestasi akademik harian siswa.
Saat itu syarat masuk kampus pilihan saya dengan jalur undangan adalah nilai raport kelas 1 sampai 3 SMA minimal 7. Tidak boleh ada angka 6 nya. Alhamdulillah nilai saya rata-rata 8 dan 9. Angka 7 hanya satu dua dan itu pun saat kelas satu. Kelas dua dan kelas 3, sebagian besar diisi angka 8 dan 9.
Kalau dilihat dari nilai akademik, otomatis saya masuk dong. Tapi saya memilih jurusan dengan grade besar, yaitu kedokteran.
Mungkin saya memang tidak ditakdirkan menjadi dokter. Makanya saya tidak lolos masuk kedokteran. Sementara teman saya yang nilai akademik hariannya di bawah saya, langsung lolos lewat jalur undangan karena pilihannya di MIPA. Fisika. Gradenya di bawah kedokteran.
Semua tetap saya syukuri. Alhamdulilah karena meskipun saya gagal lewat jalur undangan yang tanpa perlu ikut tes nasional. Saya tetap lolos tes masuk perguruan tinggi negeri.
Kebahagiaan buat saya dan orang tua, terlebih saya merasakan semuanya seolah dipermudah. Mungkin karena doa orang tua saya yang diijabah gusti Allah.
Di tempat lain, saya melihat ada yang menangis seperti bayi. Karena gagal masuk kampus negeri. Padahal masih ada kampus lain. Tapi teman saya itu tidak mau kalau tidak masuk kampus pilihannya.
Ya harus bagaimana. Apa harus pakai suap. Sementara keluarganya termasuk keluarga yang tidak mampu. Menangis berhari-hari juga tak akan mengubah keadaan. Yang ada hanya menyusahkan orang tua yang ikut stress melihat kondisi anaknya yang patah semangat.
Kalau seperti itu, secara tak langsung kita membebani orang tua loh.
Cara Agar Tetap Bisa Kuliah Tanpa Membebani Orang Tua
Saya lulus kuliah agak terlambat. Setelah lulus saya mengabdikan diri menjadi tutor di bimbingan belajar. Dari sanalah saya bertemu dengan salah satu teman tentor yang akhirnya membuat saya lebih bersyukur lagi dengan kehidupan saya.
Sebut saja namanya Riska. Anak bungsu dari 3 bersaudara. Keluarganya termasuk keluarga kurang mampu. Kedua kakaknya hanya lulusan SMA, sementara orangtuanya petani biasanya. Riska berkeinginan untuk kuliah. Riska ingin sekolah setinggi mungkin demi cita-citanya. Sayangnya, orang tuanya melarang.
Uang darimana buat biaya kuliah. Buat makan sehari-hari saja maju mundur. Begitulah kata ayah Riska, yang diceritakan kepada saya. Riska sudah mengetahui keadaaan perekomomian keluarganya. Namun itu tak membuatnya patah semangat.
Mau tahu apa yang dilakukan Riska. Ini dia :
Bekerja Sambil Mengumpulkan Uang
Ketika saya dan Riska menjadi rekan tentor di bimbingan belajar, Riska masih semester satu kuliah. Itu pun setelah satu tahun menunda masuk kuliah, karena Riska harus kerja dulu mengumpulkan uang.
Kerja apa? Apa saja. Mulai dari sales, jualan gorden atau tirai jendela, menjahit, membuat coklat dan menjualnya ke toko sampai memberikan les matematika. Saat itu Riska adalah tentor matematika. Sementara saya tentor fisika.
Uang hasil kerja Riska dikumpulkan untuk biaya masuk kuliah. Itu pun masih digunakan untuk membantu orang tuanya. Jadi pasti berkurang-kurang kan tabungannya.
Riska tak pernah mengeluh. Bahkan dari hasil jualannya itu, Riska masih bisa membantu perekonomian kakaknya yang hanya ibu rumah tangga biasa. Hebat
Membiayai Kuliah Sendiri Tanpa Minta Bantuan Orang Tua
Riska cerita ke saya, kalau dirinya memang ingin masuk perguruan tinggi negeri. Tapi karena dia gagal dan dibatasi usia untuk masuk ke perguruan tinggi tahun berikutnya, mau tak mau Riska merelakan dirinya untuk memilih kampus swasta.
Riska memang mengaku kepada saya kalau dirinya kecewa atas kegagalannya masuk kampus negeri. Apalagi tidak ada dukungan dari orangtuanya untuk melanjutkan ke jenjang kuliah.
Sudahlah, anak perem[uan di rumah saja. Tak perlu sekolah tinggi-tinggi. Setelah menikah, tugasnya hanya 3. Masak, manak, macak. Sudah.
Riska yang cerdas tentu saja tidak mau seperti itu. Baginya perempuan harus tetap bisa mengenyam pendidikan yang tinggi. Karena nanti dirinya akan punya anak. Riska ingin kelak bisa mendidik anaknya dengan baik, berbekal ilmu yang didapatkan di bangku kuliah.
Saya salut dengan pendapatnya yang begitu dewasa. Padahal usianya 10 tahun di bawah saya. Tapi Riska sama sekali tidak kekanak-kanakan.
Sindiran dan kata-kata menjatuhkan yang diterima Riska, rupanya justru membuatnya bertekad membuktikan bahwa dirinya bisa kuliah dengan usahanya sendiri.
Riska menghilangkan egonya yang dulunya ingin sekali masuk kampus negeri. Riska beranggapan, keberhasilan seseorang tidak hanya dipatok darimana dia kuliah. Tapi bagaimana dia kuliah. Hingga akhirnya Riska merelakan dirinya masuk kampus swasta di kota saya.
Biaya masuknya 4 juta. Pihak kampus membolehkan Riska menyicilnya sampai lulus. Alhamdulillah, kemudahan yang diberikan pihak kampus membuatnya lega. Karena Riska mengaku tidak punya uang sebesar itu saat mendaftar kuliah.
Lewat kerja sampingan yang dia lakukan, Riska akhirnya bisa membiayai kuliah dari uangnya sendiri. Saat ini sudah banyak mahasiswa yang kerja part time di sela-sela jam kuliah. Ini bagus untuk mengenalkan dunia kerja sejak masa kuliah, sekaligus melatih kemandirian. Beberapa lowongan kerja part time mahasiswa dapat ditemukan lewat jooble Indonesia.
Jobble Indoensia adalah mesin pencari lowongan kerja yang ada di internet. Ada ribuan lowongan kerja yang tersedia di sana dengan berbagai kriteria, seperti lulusan sarjana, SMU, bahkan mahasiswa dengan bekerja paruh waktu. Keuntungan yang didapat ketika sudah bisa bekerja paruh waktu adalah bisa mandiri dan tak perlu meminta uang lagi kepada orang tuanya. Seperti yang dilakukan Riska. Biaya kuliah hingga KKL dan KKN pun dibiayainya sendiri. Masya Allah.
Saya malu mendengar cerita Riska. Karena saya masih diberi uang saku ayah saya dan masih meminta uang ketika mau membeli buku mata kuliah tertentu. Sementara Riska, sudah sangat mandiri sejak pertama kali masuk kampus.
Ayah Riska yang awalnya tidak menyetujui Riska kuliah karena tidak ada biaya, akhirnya luluh dengan kegigihan Riska. Akhirnya ayahnya pun memberikan sepeda motor keluarga untuk transportasi Riska ke kampus.
Oh iya, rumahnya Riska di kedungkandang loh. Daerah kabupaten Malang yang jaraknya jauh banget dari kota Malang. Bisa dibayangkan kan bagaimana perjuangan Riska untuk sampai di kampus.
Ayahnya hanya bisa memberi modal sepeda motor. Itu pun gentian dengan ayah dan kakak-kakaknya untuk dipakai bersama. Sementara uang dan segala macam, Riska sendiri yang mengusahakan. Saya menangis mendengar kisah Riska.
Menjadi Mahasiswa Berprestasi di Kampus
Rsika mengaku sangat mengerti keadaan keluarganya. Karenanya untuk memperingan beban biaya kuliah, Riska menjadi mahasiswa berprestasi di kampus. Sehingga Riska mendapatkan beasiswa.
Hal ini tentu membuat bangga orang tuanya, yang akhirnya memberikan restu sepenuhnya kepada Riska untuk kuliah.
IPK Riska selalu bagus, itu membuat bangga teman dan dosen di kampusnya. Riska juga pandai mengatur waktu, sehingga waktu kuliah dan memberikan les bisa diatur sedemikian rupa.
Teman-teman tentor di bimbingan belajar pun sayang kepadanya. Termasuk saya.
Selalu hormat dan sayang kepada Orang Tua
Saya sempat geregetan ketika ada orang yang tidak mau memberi uang orang tuanya. Karena merasa selama ini, dia mencari uang sendiri. sementara orangtuanya tidak pernah mendukung apa yang dilakukannya, bahkan tidak pernah memberikan uang saku selama sekolah karena tidak mampu.
Sementara yang dilakukan Riska adalah kebalikannya. Meskipun sejak awal, orangtuanya tidak merestui Riska untuk kuliah lagi. Tapi Riska tidak membencinya. Bahkan membuktikan bahwa Riska bisa membiayai kuliahnya sendiri.
Saat wisuda, Riska juga sendiri loh. Sementara teman-temannya didampingi keluarga dan orang-orang tercinta. Riska mengaku menangis dan bertanya pada dirinya sendiri. kenapa dirinya berbeda dengan teman-temannya.
Orangtuanya tidak hadir saat dirinya diwisuda. Padahal Riska termasuk mahasiswa berprestasi di kampus. Apakah orangtuanya tidak bangga?
Rupanya bukan soal bangga atau tidak. Melainkan tidak ada uang untuk datang ke acara wisuda Riska.
Saya terus terang menangis mendengar cerita Riska pada bagian ini. Seolah saya bisa merasakan kesedihan Riska. Berada pada posisinya, dimana saat wisuda adalah moment yang tak bisa terulang.
Saya masih didampingi ibu dan adik-adik saya ketika saya diwisuda. Ayah sudah meninggal lebih dulu, sebelum sempat melihat saya diwisuda. Padahal keinginan terakhir ayah saya adalah melihat anak perempuannya ini diwisuda. Tapi tidak kesampaian.
Absennya ayah saya saja membuat saya sangat sedih. Lalu bagaimana dengan Riska yang sendirian saat diwisuda. Tak ada orangtua atau kakak-kakaknya yang menemani.
Satu hal yang membuat saya salut dengan Riska adalah Riska tak pernah menyalahkan orang tuanya.
Riska memang sedih, tapi memaklumi. Bahkan sebagai bukti rasa sayangnya kepada orang tua dan kakak-kakaknya, Riska membantu perekonomian keluarga dan kakak-kakaknya tanpa pamrih. Padahal dulu Riska tak pernah dibantu, bahkan sempat dihina karena ingin kuliah.
Pandangan anak gadis tak perlu sekolah tinggi-tinggi, karena nanti juga larinya ke dapur, membuat Riska berontak dan berusaha mengubah paradigm itu.
Riska membuktikan dirinya bisa. Sama sekali tidak membalas perbuatan orang-orang yang dulu sempat menghinanya. Bahkan Riska memberikan bantuan kepada mereka. Masya Allah.
Doa Orang Tua Adalah Pintu Rejeki yang Terbuka
Saya tercengang, bahkan tak henti-hentinya melongo setelah mendengar kisah Riska. Sungguh, nih anak hebat sekali menurut saya. Niatnya tulus untuk menimba ilmu setinggi-tingginya. Hebatnya lagi, Riska sama sekali tak membebankan orang tuanya.
Saya memang diberikan kemudahan selama kuliah, namun kemudahan yang diberikan Allah kepada Rsika berkali-kali lipat lebih banyak daripada saya.
Jujur saya malu. Padahal seperti yang saya katakana di atas, Riska umurnya 10 tahun lebih muda dari saya. Tapi kegigihannya membuat saya merasa rendah.
Terima kasih Riska, sudah memberikan inspirasi yang luar biasa kepada saya. Saya yakin, siapapun yang membaca tulisan saya ini, pasti akan berdecak kagum dengan dirimu. Semoga Riska selalu sukses ya.
Kami memang sudah tidak pernah bertemu lagi. Tapi kabar terakhir yang saya tahu dari Riska, dirinya sudah hendak lulus kuliah dan mendapat beasiswa untuk sekolah S2. Masya Allah.
Satu hal yang saya pelajari dari Riska adalah rasa hormatnya yang tak pernah putus kepada orang tuanya. Meskipun awalnya tak diberi restu untuk kuliah, tak pernah memberikan uang untuk biaya kuliah, bahkan tak hadir saat wisuda, Riska sama sekali tak menyalahkannya.
Orang tua tetap orang tua. Bagaimanapun tetap harus dihormati. Karena orang tua pasti berdoa yang terbaik untuk anaknya. Siapa yang tahu, segala kemudahan yang dialami Riska adalah berkat doa orangtuanya.
Orang tua Riska memang tidak bisa memberikan bantuan berupa fisik. Seperti uang dan dukungan. Namun doanya terus mengalir untuk Riska. Sehingga pintu rejeki terbuka lebar untuknya. Benar-benar pelajaran berharga buat saya.
Orang tua Riska pasti sangat bangga kepada Riska. Saya aja bangga sama kamu, teman-teman pembaca tulisan ini juga kan.
Sukses terus ya Riska.
**