Penulis skenario film atau penulis novel?
Pertanyaan seperi itu terdengar begitu menggelitik di telinga saya.
Kenapa bisa begitu?
Jawabannya simple. Karena saya menjalani keduanya. Yup! Saya menulis naskah skenario untuk film sekaligus menulis naskah novel. Kalau ditanya lebih enak mana. Saya dengan tegas akan menjawab kalau enak dua-duanya. Serakah? Ah tidak juga. Karena skenario maupun novel sama-sama menyenangkan dan mendatangkan manfaat bagi saya. Ibarat kata mereka seperti saudara yang saling melengkapi. Masing-masing punya kelebihan dan kelemahannya sendiri-sendiri.
Yuk kita bahas apa saja sih kelebihan dan kelemahan mereka:
1. NASKAH SKENARIO LEBIH OBYEKTIF DARIPADA NASKAH NOVEL
-
Pengertian obyektif di sini maksudnya adalah lebih menyeluruh dan melibatkan banyak pihak. Naskah skenario jelas sekali keobyektifitasannya. Lihat saja mulai dari munculnya ide, cerita dikembangkan menjadi sebuah sinopsis. Lalu dikembangkan jadi plotting dan sceneplot sebelum akhirnya jadi sebuah naskah skenario yang utuh. Apakah naskah skenario berhenti sampai di situ? Tentu saja tidak. Karena naskah skenario harus dieksekusi menjadi tayangan bergambar yang disebut film atau sinetron atau film televisi dan media audio visual lainnya. Itulah mengapa naskah skenario bersifat obyektif. Bahasa gaulnya, yang mikir orang banyak. Karena setelah jadi naskah, tugas sutradara dan para krunya untuk memvisualisasikan naskah tersebut ke dalam adegan. Sementara novelis lebih subyektif karena berasal dari satu orang pemikir saja. Yaitu penulisnya sendiri. Berbeda jika novelnya diangkat ke layar lebar dan dijadikan film. Karena adegan di dalam novel pasti sedikit banyak mengalami perubahan tergantung dari keadaan di lapangan.
2. PENULIS NOVEL LEBIH BEBAS BEREKSPRESI DARIPADA PENULIS SKENARIO
Ini jelas sekali merupakan kelebihan penulis novelis. Karena penulis novel tidak dituntut aturan yang ketat seperti skenario. Penulisnya mau membuat tokoh A orang gila yang menaruh hati kepada psikopat misalnya, sah-sah saja. Atau tokoh utamanya super hero yang serba sempurna. Bisa melompat dari gedung pencakar langit dan terbang layaknya burung. Selama cerita yang ditulisnya mempunyai alur yang apik dan bagus, tidak ada masalah. Tapi kalau naskah skenario tidak bisa membuat cerita seperti itu. karena akan susah pengadeganannya. Produser pastinya memperhatikan soal budget dan lain-lain sehingga penulis tidak dapat seenaknya membuat adegan. Sementara novelis bisa melakukan apa saja karena tidak perlu divisualkan. Pembaca novel diajak penulisnya untuk berimajinasi saja, sementara skenario harus mengajak penontonnya melihat secara langsung adegannya.
3. BAHASA YANG DIGUNAKAN PENULIS NOVEL LEBIH BERMAJAS DARIPADA SKENARIO
Ketika saya menulis novel NEBULA, saya bisa menggambarkan tentang pertemuan pertama kali TEFANO dan KANIS di perpustakaan kota Malang dengan kata-kata indah dan menghabiskan satu bab sendiri. Saya juga menggambarkan keadaan perpustakaan dengan detail dengan harapan pembaca saya bisa membayangkan bagaimana kondisi perpustakaan kota Malang, tanpa perlu datang sendiri ke tempatnya. Namun kata-kata indah penuh majas personifikasi, metafora, hiperbola lainnya tidak bisa digunakan dalam naskah skenario. Karena tidak bisa diadegankan.
Misalnya paragraf novel nebula berikut :
Seorang gadis turun dari angkutan umum berwarna serba biru, persis di depan gedung perpustakaan. Rambut ikalnya yang sebahu tergerai begitu saja tanpa hiasan rambut. Sementara tas selempang menempel di bahunya— menambah kesan kasual dari penampilannya yang sederhana, rok motif garis di bawah lutut dan atasan lengan tiga perempat. Saat kakinya yang berbalut sepatu balet hitam melangkah, bayangan matahari hampir tak terlihat. Peluh menetes di pipinya menandakan tengah hari itu begitu tak bersahabat. Langkah gadis itu tetap mantap memasuki gedung tetapi hanya beberapa saat. Mendadak langkah kaki itu berhenti. Pandangan matanya menyapu ke segala penjuru, kata penyesalan terlontar begitu saja dari bibirnya yang tipis dan mungil. Ia tak menyangka gedung perpustakaan akan seramai ini. Seharusnya ia datang pagi tadi, pukul sembilan, seperti jadwal yang dibuatnya sendiri. Namun, karena pekerjaan kantor yang terpaksa dibawanya pulang, jatah refresing ke perpustakaan jadi tertunda. Siang itu, mood-nya benar-benar anjlok. Kalau tahu akan seramai ini, ia akan memilih untuk tak usah datang ke perpustakaan saja. Gadis itu tampak berpikir, melanjutkan melangkah ke depan atau balik badan dan pulang.
Dari deskripsi di atas, pembaca akan bisa tahu kalau gadis itu sedang menyesali kedatangannya ke perpustakaan. Penulis cukup menggambarkan narasinya saja. Namun jika dijadikan naskah skenario, narasi yang mengatakan si gadis mengeluh tadi tidak bisa ditulis di narasi saja. Tapi harus lewat dialog. Penggambarannya pun akan jelas berbeda. Karena naskah skenario membutuhkan bahasa yang tegas dan bisa mewakili penonton untuk mengerti adegan yang hendak disampaikan.
4. NASKAH SKENARIO LEBIH BANYAK ATURANNYA DARIPADA NASKAH NOVEL
Jika naskah novel disensor satu kali pada saat naskah terbit. Maka naskah skenario sudah melewati masa sensor sejak masih berbentuk ide cerita. Aturan ini jelas berlaku mengingat naskah skenario akan dieksekusi di lapangan oleh tim produksi (sutradara dan para kru lain). Seperti ceritanya soal apa. Kalau idenya lolos seleksi produser, maka bisa lanjut ke skenario. Begitu juga ketika skenario lolos seleksi, baru bisa lanjut ke tahap selanjutnya sampai terbentuk naskah skenario. Setelah menjadi naskah skenario pun proses belum berakhir. Karena naskah diserahkan ke tim produksi untuk disyuting hingga akhirnya menjadi sebuah tayangan. Naskah novel tidak memerlukan aturan seperti itu. Penulis bebas berimajinasi seliar mungkin. Eksekusinya pun dilakukan satu kali setelah naskah novel selesai yaitu untuk menentukan diterima atau tidaknya naskah tersebut ke meja redaksi untuk diterbitkan.
5. RESIKO NASKAH SKENARIO DITANGGUNG BERSAMA. SEDANGKAN NOVEL DITANGGUNG SENDIRI OLEH PENULISNYA
Hal ini jelas sekali. Karena naskah skenario dikerjakan banyak pihak. Jadi jika ada kesalahan, yang bertanggung jawab juga banyak orang. Meskipun pada konten ceritanya, tetap menjadi tanggung jawab penulis skenarionya. Sementara itu penulis novel lebih beresiko. Jika novelnya tidak laku di pasaran, yang rugi yang penulisnya sendiri. produser dan penerbit tidak ikut menanggungnya. Kalaupun penerbit mengalami kerugian, bisa dianulisir dengan mencari novel lain yang lebih laku di pasaran.
6. NASKAH SKENARIO LEBIH MENGURAS TENAGA DAN PIKIRAN DARIPADA NOVEL
Menguras tenaga dan pikiran di sini maksudnya adalah dikejar deadline. Untuk naskah skenario televisi misalnya. Deadlinenya satu hari satu skenario. Kalau bisa satu hari dua skenario. Bisa dibayangkan kan bagaimana tenaga dan pikiran penulis skenario dikuras habis-habisan di sini. Biasanya penuis skenario yang sudah profesional memiliki asisten untuk membantunya menulis. Sehingga bisa mengejar target deadline yang diminta. Terutama kalau sudah menulis naskah sinetron striping yang tayang setiap hari. Tidak mungkin satu penulis skenario bisa menulis satu naskah skenario yang berjumlah minimal 90 halaman seorang diri. Belum lagi penulis skenario dituntut untuk membuat stok naskah, yang artinya penulis skenario harus bisa menulis naskah skenario lebih dari satu naskah satu harinya. Di sinilah peran asisten berlaku. Agar target kepenulisan bisa tercapai.
7. JUMLAH HALAMAN NASKAH SKENARIO LEBIH SEDIKIT DARIPADA NASKAH NOVEL.
Jumlah halaman naskah skenario untuk film televisi dibatasi oleh durasi penayangan di televisi. Untuk tayangan satu jam, jumlah halamannya sekitar 70 sampai 80 halaman. Sementara untuk tayangan satu setengah jam bisa sekitar 90 halaman. Begitu juga untuk tayangan dua jam. Jumlah halamannya bisa lebih banyak. Yaitu antara 90 sampai 120 halaman. Itu pun biasanya dipotong iklan. Jumlah halaman itu tentu lebih sedikit dibanding novel yang bisa sampai 200 halaman, bahkan ada yang menulis sampai 600 halaman.
8. WAKTU MENULIS NASKAH NOVEL LEBIH FLEKSIBEL
Kalau menulis novel bisa diselesaikan dalam waktu tak terbatas. Bisa dalam beberapa minggu, bulan bahkan tahunan. Maka naskah skenario tidak bisa seeanaknya begitu. Karena naskah skenario harus dieksekusi oleh tim produksi lewat syuting, sehingga pengerjaannya pun dibatasi waktu. Kalau untuk naskah skenario sinetron misalnya, deadlinenya satu hari satu naskah minimal. Sementara untuk naskah skenario film bisa lebih fleksibel. Tapi tetap diberi batasan waktu sebelum syuting dimulai. Jadi penulis skenario tidak boleh menggantungkan waktu menulis berdasarkan mood. Kalau sudah moody, harus segera dihilangkan dan secepatnya kembali ke cerita. Berbeda dengan novelis yang masih menggantungkan dengan sifat moody. Akibatnya naskah novelnya tidak selesai-selesai.
9. HONOR PENULIS SKENARIO DAPAT LANGSUNG TERLIHAT DIBANDING NOVELIS
Ini part yang paling saya sukai. Karena membicarakan masalah uang. Kalau penulis skenario biasanya dibayar setelah filmnya tayang. Kalau sinetron di televisi lebih enak lagi. Karena sudah pasti tayangnya sehingga bisa dihitung berapa penghasilannya per episode. Pembayarannya pun tergantung kesepakatan dengan produser. Bisa seminggu sekali, dua minggu sekali atau mau sebulan sekali. Tinggal penulisnya yang minta. Sementara novelis harus menunggu jadwal royalti turun. Biasanya 6 bulan sekali baru ada pembayaran. Tapi bukan berarti penulis naskah skenario lebih kaya daripada novelis. Banyak kok novelis yang kaya dan sukses dan menghasilkan pundi uang dari penjualan bukunya. Sebut saja JK ROWILING dengan novel Harry Potternya. Kalau novelis Indonesia, ada Dewi Lestari yang sukses dengan novel supernova, filosofi kopi dan aroma karsa. Ada Andrea Hirata dengan Laskar Pelanginya. Dan sederet novelis hebat lainnya.
10. NOVELIS LEBIH STAGNAN SOAL PENGHASILAN
Masih berhubungan dengan uang. Kalau penulis naskah, harus menulis naskah baru untuk mendapatkan penghasilan. Maka novelis tinggal menunggu uang mengalir sendiri ke rekeningnya selama bukunya masih dijual di pasaran. Itulah kenapa saya bilang kalau novelis lebih stagnan soal penghasilan. Ibarat kata, naskah skenario itu sama seperti novel yang dibeli putus oleh penerbit. Langsung dibayar per satu naskah. Karena naskah skenario langsung dieksekusi dan tidak diperbanyak. Berbeda dengan naskah novel yang diperbanyak sehingga digunakan sistem royalti. Tapi ya itu, nunggu 6 bulan lagi untuk bisa merasakan hasilnya. Tapi jangan salah. Kalau novelnya best seller, waktu 6 bulan itu bisa menghasilan uang dalam jumlah banyak loh. Bisa puluhan juta atau ratusan juta. Karena berkali-kali cetak ulang. Tinggal dihitung saja berapa eksemplar yang terjual di pasaran. Novelis tidak perlu susah payah menulis ulang cerita untuk mendapatkan penghasilannya. Dari satu buku yang best seller saja sudah bisa dilihat berapa pundi-pundi uang yang dihasilkan. Berbeda dengan naskah skenario yang dituntut untuk terus menulis cerita yang berbeda. Tapi bukan berarti penulis novel berpenghasilan lebih tinggi daripada penulis naskah atau sebaliknya. Masing-masing mempunyai peluang yang sama dalam berpenghasilan tinggi. Tergantung seberapa besar usaha penulis dalam menghasilkan karya yang bagus dan bermutu.
Sedikit banyak itu sih kelebihan dan kelemahan menulis naskah dan novel versi saya. Apa yang saya tulis itu berdasarkan pengalaman saya menulis naskah skenario sekaligus menulis novel. Tapi kalau ditanya lebih enak mana antara keduanya, saya tidak bisa memilih. Karena keduanya sangat saya senangi. Tapi tidak menutup kemungkinan penulis lain berbeda pendapat dengan saya. Bisa jadi ada yang lebih senang menulis naskah skenario daripada novel. Ataupun sebaliknya. Semua tergantung dari selera dan panggilan hati. Bagaimana denganmu?
Salam sayang,
Wahyuindah