Kepribadian menjadi sesuatu hal yang sangat sensitif untuk dibicarakan. Karena sifat, kebiasaan dan tingkah laku seseorang akan dibuka untuk publik. Bagi sebagian orang, mungkin tidak akan menjadi masalah. Terutama bagi mereka yang sangat welcome dengan orang lain. Namun bagi saya, keterbukaan itu justru akan membuat saya merasa “terancam”. Kenapa saya bisa berpikir seperti itu?!
Sebelum saya menjawab pertanyaan yang saya ajukan sendiri, terlebih dulu saya berterima kasih kepada mbak ainhy_edelweis yang mengusung tema ini untuk challenge-nya. Karena tema ini merupakan tema yang sangat sensitif bagi saya. Itu karena saya termasuk tipe kepribadian yang sangat tertutup. Tidak mudah bagi saya untuk membuka apapun tentang diri saya. Namun seiring dengan berlalunya waktu, pendapat saya itu mulai saya ubah. Saya perlahan mulai berkompromi dengan diri sendiri untuk terbuka. Tidak banyak memang, tapi setidaknya saya tidak hilang dari pandangan. Saya manusia, dan saya masih meninggalkan jejak di bumi ini.
Pencarian jati diri yang pernah saya lakukan di awal kuliah, membuat banyak pertanyaan bersarang di benak saya. Tentang apa itu hidup, tentang cinta, tentang persahabatan, tentang dunia dan banyak pertanyaan lainnya. Semua itu menyadarkan saya bahwa saya ternyata “berbeda”. Karena saya memunculkan banyak pertanyaan yang terlalu jauh. Pertanyaan yang tidak semua teman saya “sempat” memikirkannya. Hal itulah yang membuat saya terkadang merasa “aneh” dengan diri sendiri. Apa yang salah dengan diri saya?.
Saya suka kesunyian. Saya seakan menemukan diri saya sendiri ketika saya sedang sendiri. Sementara keramaian membuat kepala saya mendadak pusing. Dalam sekejab saja, pikiran saya langsung beku di tempat. Tidak bisa berpikir. Saya butuh ketenangan untuk membuat memori di otak saya berjalan dengan lancar. Keramaian juga membuat saya merasa “kecil”. Saya seakan seperti petapa yang turun gunung. Sering secara spontan, saya berucap.
“Oh, mereka manusia juga ya. Bentuknya sama seperti saya. Ternyata saya tidak sendiri di bumi ini.”
Keanehan lain yang saya rasakan, terjadi ketika saya berhubungan dengan yang namanya “cinta”. Jika orang lain mudah jatuh cinta, dan bisa bersikap biasa setelah putus cinta. Maka itu tidak terjadi pada diri saya. Persoalan “asmara” menjadi momok tersendiri bagi saya. Itu karena saya pernah melihat memori buruk tentang orang pacaran. Tepatnya ketika saya masih SMU. Banyak teman saya yang pacaran, dan semuanya berkasus. Ada yang dimarahi guru, ada yang nilainya anjlok karena tidak pernah konsentrasi belajar, bahkan ada yang ditampar gara-gara bermesraan di depan ruang kelas. Tidak sopan. Sekolah tempatnya belajar. Bukan tempat orang pacaran.
Memori buruk itu membuat saya memandang rendah soal “cinta”. Bahwa cinta itu hanya membuat petaka. Karena itulah saya membentengi diri saya darinya. Ketika beberapa teman laki-laki mendekati saya, secara otomatis saya menjaga jarak. Bahkan saya pernah menangis gara-gara “ditembak” cowok. Pengalaman “ngumpet” juga sering saya lakukan, ketika cowok yang menyukai saya mengejar saya sampai ke sekolah. Cowok itu dari sekolah yang berbeda dengan saya. Kami bertemu di acara lomba Palang Merah Remaja. Bukan pertemuan berdua saja. Tapi pertemuan tim lomba antar sekolah. Saya tidak menyangka jika ada yang menyukai saya dari sekolah lain. Awalnya mengajak kenalan, eh makin lama kok ngajak ketemuan. Saya benar-benar ketakutan. Sadarlah saya bahwa urusan cinta membuat saya “tertekan”.
Hal yang sama juga terjadi ketika saya kuliah. Saat ada laki-laki yang mendekati saya dengan ramah, saya menyambutnya dengan hangat. Namun ketika ada maksud tersembunyi di balik kedekatan itu (baca : ada perasaan suka kepada saya), secara otomatis saya langsung menghindar. Bukan karena saya sok jual mahal. Tapi karena saya “ketakutan”. Yah, saya takut jatuh cinta. Karena kalau saya jatuh cinta dan akhirnya pacaran. Hal pertama yang ada dalam benak saya adalah, bagaimana kalau nanti putus. Atau bagaimana kalau pacar saya meninggalkan saya dan menyakiti saya dan pikiran negatif lainnya. Belum apa-apa saya sudah berburuk sangka terlebih dulu.
Apa yang saya pikirkan tersebut, tidak lain karena saya terlalu hati-hati dalam bergaul. Saya takut disakiti, karena saya pasti sangat terpuruk kalau sedang sedih. Karena itulah saya menghindari hubungan yang serius. Dan benar saja, ketika saya terlibat hubungan tersebut dan saya terjatuh. Saya benar-benar terpuruk. Butuh bertahun-tahun untuk menghilangkan sakit hati dan trauma yang saya alami. Saya butuh orang yang bisa menyembuhkan luka saya dan membuat saya bangkit lagi.
Sikap saya yang sangat membatasi pertemanan itulah, yang membuat banyak teman saya merasa “sungkan”. Tidak sedikit juga yang memberikan saya predikat “high quality jomblo” atau “sang primadona”. Bukannya senang, saya malah merasa minder dengan julukan itu. Karena setahu saya, yang namanya primadona itulah pasti cantik. Istilah cantik di sini digambarkan dengan kulit putih bersih, hidung mancung, mata indah, tinggi, muka indo. Sementara saya hanya berkulitkan kuning langsat, hidung saya tidak terlalu mancung. Tapi untung juga tidak terlalu pesek. Standarlah. Mata saya sipit sebelah, itu karena saya punya riwayat step sejak kecil. Sehingga kedua maya tidak simetris. Tapi semakin dewasa, kedua mata saya lama-lama simetris juga. Karena stepnya sudah sembuh.
Ketika saya “bercermin”, saya merasa diri saya tidak cantik. Tapi kenapa banyak yang suka. Salah satu teman saya bilang senyum saya yang membuat saya terlihat manis. Saya pun mencoba tersenyum. Ketika itulah saya setuju dengan teman saya. Senyum memang membuat orang terlihat ramah dan manis. Saya juga tidak pernah menyadari, bahwa orang lain menganggap saya begitu misterius. Banyak yang penasaran dengan apapun tentang saya. Beberapa teman ada yang berkirim pesan, bahkan ada yang pedekate terang-terangan. Saya hanya bisa tersenyum melihat sikap mereka. Tapi sungguh, saya tersanjung dengan apapun yang dilakukan orang lain terhadap saya.
Usia saya semakin bertambah. Tentunya banyak pengalaman yang membuat saya semakin dewasa. Begitu juga pemahaman saya tentang diri saya. Semakin saya mencari tahu tentang diri saya sendiri, semakin jelas bagaimana saya sebetulnya. Lagi-lagi teman saya yang memberitahu saya.
“Kamu seorang melankolis yang sempurna, indah”
Saya awalnya kebingungan dengan istilah melankolis. Belum lagi teman saya menyebutkan sifat dasar lainnya. Yaitu sanguinis, koleris dan plagmatis. Saya hanya menggeleng tidak mengerti dan minta diberi penjelasan.
Teman saya tidak langsung menjawab. Tapi mengajukan pertanyaan lain. Seperti apakah saya suka data-data statistik, bermain dengan angka, grafik, diagram. Apakah saya suka menyendiri dan tidak suka keramaian, apakah saya seorang pendendam, yang tidak bisa melupakan ketika disakiti. Apakah saya suka dengan puisi, cerita dan semuanya yang berbau seni, apakah saya berorientasi terhadap target dalam bekerja. Juga apakah saya termasuk orang yang sangat teratur, disiplin dan sangat pemikir.
Saya mengira teman saya punya indra keenam, ketika menyebutkan dengan benar semua hal tentang saya. Tapi teman saya hanya tertawa kecil. Semua sifat manusia itu punya kepirbadian yang bisa dibaca. Ada ilmunya. Ini tidak ada kaitannya dengan dunia mistik. Apalagi indra keenam. Saat itulah saya diberitahu soal melankolis. Saya pun terbelalak ketika mengetahui semunya. Dengan hati yang bersorak, saya pun berkata.
“iya… itu saya! Tapi bagaimana bisa?”
Sekali lagi, teman saya hanya tersenyum. Lalu saya disodorkan buku “PERSONALITY PLUS” karya Florence Littauer. Saya benar-benar penasaran dan akhirnya melahap habis isi buku itu. Inilah beberapa hal yang akhirnya saya pahami tentang sisi melankolis yang sempurna.
KEPRIBADIAN : introvert, pemikir, pesimis
Saya sadar betul kalau saya adalah pribadi yang introvert. Saya tertutup sejak kecil, tidak mudah percaya orang lain dan menganggap keterbukaan sebagai ancaman. Saya merasa aman ketika tidak banyak yang tahu tentang diri saya. Tapi anggapan seperti ini ternyata membuat saya merugi. Karena saya merasa tidak dikenal, anggapan terburuk dari pemikiran tersebut adalah, bagaimana jika saya mati nanti tidak ada yang mengurusi saya. mati di tempat terpencil, sendirian dan tergeletak begitu saja di jalanan. Ya ALLAH… saya tidak mau akhir hidup saya mengenaskan seperti itu. Karena itulah saya belajar untuk sedikit terbuka. Tidak semuanya. Hanya kepada orang-orang tertentu saja. Sementara untuk urusan yang tidak menyangkut soal privasi, saya berusaha untuk terbuka sepenuhnya. Terutama soal ilmu yang saya tekuni. Juga soal karya-karya saya.
Saya juga seorang pemikir yang ulung. Masalah apapun sangat saya mikirkan baik buruknya. Bahkan sebelum hal tersebut terjadi. Karena itulah banyak yang menegur saya untuk tidak berburuk sangka. Padahal saya selalu memikirkan akibat terburuk, sebelum membayangkan hasil yang baik. Saya juga merencanakan plan A, plan B dan plan C untuk banyak kasus yang saya hadapi. Itu saya lakukan untuk menghadapi kemungkinan terburuk tadi. Mungkin karena sifat saya itulah, saya akhirnya dipercaya untuk menjadi penulis naskah skenario. Setelah sebelumnya saya menjadi asisten penulis dan juga tim kreatif.
Pesimis. Saya memang seorang pesimis yang ulung. Saya tidak pernah merasa percaya diri, sebelum orang lain yang mengatakan kalau saya mampu. Seperti ketika saya menjalani profesi saya saat ini. Penulis naskah skenario. Ilmu saya tentang naskah skenario memang masih sedikit. Tapi setidaknya saya sudah merasakan bekerja di tim penulisan naskah skenario program televisi. Produser saya mengatakan kalau saya sudah punya “jam terbang”. Itu bekal untuk melangkah ke jenjang karir yang lebih tinggi. Kalau bukan produser saya yang bilang, bahwa saya sudah bisa berdiri sendiri, mungkin saya belum berani menunjukkan diri sebagai “penulis naskah skenario”. Hehe..
Ciri melankolis sempurna yang lain yang ada dalam diri saya, diantaranya :
– PERFECTIONIST
Sifat ini yang paling saya sadari dari awal. Saya sudah jauh memahami tentang standat kesempurnaan yang saya inginkan, jauh sebelum saya mengenal tentang teori kepribadian manusia. Saya tidak menganggap ini kekuatan saya, terkadang saya menganggapnya kelemahan saya juga. Karena saya memang menginginkan segala sesuatu yang saya kerjakan sempurna. Tidak ada cacat dalam pekerjaan. Karena saya pasti akan sangat kecewa kalau hal itu sampai terjadi.
Saya contohkan sekali lagi pada pekerjaan saya. Saya punya tim dalam menulis naskah skenario. Jika naskah yang disetorkan ke saya, tidak sesuai dengan standart tulisan saya, pasti akan saya revisi sendiri. Saya tidak mau, naskah saya jelek di mata produser. Karena itu, saya kadang merelakan menyetor naskah lewat dari deadline yang ditetapkan, daripada setor lebih awal tapi salah.
Hal yang sama juga terjadi ketika saya menjadi tentor di bimbingan belajar. Profesi yang saya jalani sebelum jadi penulis naskah. Saya mencari banyak sumber referensi untuk memperkaya materi yang saya berikan. Bahkan saya rela meresume teori fisika dan menemukan teknik sendiri, agar mudah dipahami anak didik saya. Untuk masalah ini, saya tidak mempercayakan kepada orang lain. Semuanya saya kerjakan sendiri.
– SUKA BERANALISIS
Saya terbiasa menganalisis masalah yang saya hadapi. Mulai dari menjabarkan masalah, menemukan titik konflik, bagaimana cara menyelesaikannya. Sampai pada rencana untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Perencanaan yang matang selalu saya lakukan, untuk memenuhi target kesempurnaan yang saya inginkan. Meski begitu, kenyataan di lapangan seringkali tidak sejalan dengan apa yang sudah direncanakan. Hal ini sangat saya maklumi. Karena itulah, saya berusaha untuk berkompromi dengan diri sendiri. Terutama dalam hal menurunkan standart kesempurnaan saya. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Jadi kalau ada yang tidak sejalan dengan keinginan, jangan terlalu kecewa. Serahkan saja kepada gusti ALLAH. Yang terpenting kita sudah melakukan usaha terbaik. Bukan begitu?
– NYAMAN BEKERJA SENDIRI
Poin ini juga saya sadari sejak awal. Saya lebih nyaman bekerja sendiri, daripada bekerja dalam tim. Kalau toh saya berada dalam tim kerja, saya selalu mempercayakan kemampuan sendiri. Tidak mengandalkan orang lain. Jadi setidaknya di dalam tim saya tidak numpang nama. Tapi saya memberikan kontribusi atas kemampuan sendiri.
Sifat saya ini mungkin berhubungan dengan ketidakpercayaan saya kepada orang lain. Yah, saya memang tidak mudah percaya dengan orang lain. Apapun pekerjaan yang dibebankan kepada saya, sebisanya saya selesaikan sendiri. Saya baru akan meminta bantuan orang lain, jika saya memang sudah tidak mampu. Atau pekerjaan yang saya lakukan membutuhkan bantuan orang lain. Seperti tim kerja saya. Sebelum punya asisten penulis, saya bekerja sendiri dalam mengeksplor naskah skenario. Tapi tuntutan deadline kerja yang tinggi, mengharuskan saya harus punya asisten. Tugasnya membantu saya eksplor adegan. Tapi tetap dengan standart tulisan dari saya. Kalau tulisan asisten di bawah standart saya, maka saya akan merevisinya sendiri.. Bukan mengembalikan kepada asisten untuk dia perbaiki lagi. Karena menurut saya, kalau asisten sudah salah mengeksplor berarti asisten tidak tahu bagaimana mengeksplor yang benar. Tugas saya untuk membenarkan, yaitu dengan mengambil alih eksplor adegan. Kemudian eksplor saya tadi saya tunjukkan kepada asisten untuk dipelajari. Begini loh yang benar, bukan seperti yang kamu eksplor. Begitu…
– SENANG AKAN DATA
Melankolis sempurna rupanya senang akan data. Saya merasa sependapat karena saya pun demikian. Data yang falid memudahkan saya untuk mengolahnya. Karena data lebih bisa dibaca, daripada uraian panjang paragraf yang bertele-tele. Hal ini saya rasakan ketika jaman kuliah dulu. Data merupakan rangkuman dari analisis yang saya buat. Sementara isinya sudah ada di kepala saya. Jadi ketika saya diberikan tanggung jawab untuk tugas tertentu, data yang lengkap membantu saya menjelaskan dengan lebih terperinci. Dan saya akan menjelaskan dengan gaya bahasa saya sendiri.
– PENDENDAM
Saya terkejut ketika melankolis mempunyai sifat ini. Lebih terkejut lagi ketika saya pun merasakannya juga. Ketika saya ditinggal pergi pacar saya, rasa sakitnya masih terasa sampai sekarang. Bahkan saya sempat berkata pada diri sendiri, bahwa suatu saat mantan pacar saya akan menemui saya dan minta maaf. Beberapa tahun kemudian, kami benar-benar dipertemukan. Dia pun menjelaskan kesalah pahaman yang terjadi dan minta maaf kepada saya. Sekarang dendam itu sudah hilang. Kami tetap berhubungan baik sebagai teman. Syukurlah.
– SENANG BEKERJA DI BALIK LAYAR
Saya sadar kalau saya tidak pandai bersosialisasi, tidak suka menjadi pusat perhatian dan tidak pandai dalam bergaul. Semua kekurangan saya itu membuat saya tidak nyaman untuk tampil di depan. Karena itulah saya lebih nyaman berada di balik layar. Seperti profesi yang saya jalani saat ini. Penulis skenario adalah orang di balik layar akan sebuah tayangan. Saya lebih bisa bekerja maksimal ketika tidak ada orang yang memperhatikan saya. Kalau diperhatikan, saya jadi grogi dan tidak bisa konsentrasi.
Mempunyai sifat si melankolis yang sempurna membawa keuntungan dan kerugian tersendiri bagi saya. Keuntungannya, saya bisa lebih tahu apa yang harus saya lakukan, dan apa yang seharusnya tidak saya lakukan. Terlebih ketika berinteraksi dengan orang lain. Saya sadar betul kalau melankolis sangat pemilih dalam berteman. Dan hanya cocok berinteraksi dengan sesama melankolis. Sementara dengan karakter lain, dibutuhkan adaptasi untuk bisa cocok. Melankolis sangat menghindari sanguinis yang populer. Karena sanginis sangat suka keramaian dan pesta pora. Sesuatu hal yang sangat dibenci si melankolis yang lebih suka kesnyian dan menyendiri. Tapi melankolis bisa menjadi koleris yang kuat. Karena ada jiwa kepemimpian dalam diri melankolis, terutama dalam hal pekerjaan. Sementara dengan plagmatis yang damai, melankolis harus belajar sabar karena plagmatis tidak memasang target dalam hidupnya.
Melankolis juga sangat perasa dan gampang down. Kalau sudah “down”, akan sulit bagi melankolis untuk bangkit lagi. Ini juga terjadi pada diri saya. Ketika saya membuat sceneplot untuk cerita saya, biasanya langsung lolos televisi. Tapi ketika harus revisi, saya merasa tertekan. Karena saya merasa sudah membuat cerita dengan baik. Saya juga bisa langsung down, ketika revisinya harus total. Kepala saya langsung pusing dan saya seakan tidak bisa berpikir lagi. Saya sempat ditegur produser ketika saya menghadapi down ini. Karena penulis skenario tidak bisa bekerja dengan sifat down ini. Deadline harus tetap terkejar. Kalau sudah down, harus segera bangkit. Karena itulah saya memikirkan banyak cara agar saya tidak mudah “down” lagi. Karena efeknya buruk untuk pekerjaan dan kehidupan saya.
Memahami sifat diri sendiri ternyata sangat menguntungkan bagi kita. Itu yang saya rasakan sebagai melankolis yang sempurna. Saya jadi bisa bertindak, bagaimana ketika saya berhadapan dengan sanguinis yang populer, koleris yang kuat dan plagmatis yang damai. Bukankah dengan mengenali diri sendiri, membuat kita tidak mudah menyalahkan orang lain. Ingatlah masing-masing manusia punya kelebihan dan kelemahan. Itu menjadikan kita bersyukur atas karunia yang diberikan ALLAH.
Nah, Bagaimana dengan kepribadian kamu?! Sudahkah kamu mengenali diri kamu sendiri seperti saya? share yuk di kolom komentar….
Salam sayang,
Wahyuindah
#ChallengeAccepted #day06#30hariBercerita
1 Comment. Leave new