Kujumpai lagi malam gelap tanpa bintang. Mendung menutupinya dengan begitu egois. Padahal sudah sejak langit dikuasai matahari, awan tebal itu sudah menjajah sinarnya dan memberikan sedikit saja ke bumi. Ternyata bulan juga tak kalah kena upeti. Sinarnya yang didapat dari pantulan matahari tak diberikan sepenuhnya ke bumi. Melainkan diserap sendiri dan membiarkan planet ketiga dari matahari itu gelap tanpa pesona. Aku hanya tersenyum kecut setiap kali khayalanku mengangkasa ke arah sana. Imajinasi liar, harapan dari insan yang merindukan untuk menemukan jalan pulang.
Namaku Lintang. Tak ada embel-embel nama depan maupun nama belakang. Yah, hanya Lintang. Mungkin kalau aku punya adik, bapak ibuku akan menamainya dengan bujur. Sayangnya, adikku sudah dipanggil duluan oleh sang Pencipta sejak masih di dalam perut ibu. Dan betapa kagetnya aku saat bapak bilang kalau bapak sangat kehilangan si bujur. Ibu bertanya heran tentang siapa si bujur. Kata bapak, bujur adalah nama yang akan diberikan untuk calon adikku. Entah mengapa aku merasa bersyukur adikku tidak jadi dilahirkan. Mungkin karena aku tak mau malu dengan nama yang disandangkan orang tuaku kepada adikku, bujur. Nanti bakalan ditambah-tambahin jadi bujur sangkar. Hahaha… aku sering tertawa garing setiap kali membayangkan hal itu.
“Harusnya namamu itu Malang melintang saja. Atau Lintang luntang lantung.” Rani sering mengejekku demikian. Padahal namanya saja juga aneh. Gerimis mengundang. Nama yang absurb untuk disandangkan kepada seorang anak. Kata ibunya waktu aku bertandang ke rumahnya dulu, Rani memang lahir saat cuaca sedang gerimis. Padahal kala itu sedang musim panas. Entah mengapa dia malah menamai dirinya sendiri dengan Rani. Bukannya gerimis.
“Rani Kanaya Putri, itu namaku sebenarnya. Bukan gerimis mengundang.” Rani sering bilang begitu setiap kali ditanya soal nama. Dia membuat nama sendiri yang jelas-jelas ditolak bapak ibunya. Meskipun aneh, gerimis mengundang punya makna yang dalam. Begitu dalih mereka. Karena gerimis dianggap sebagai permulaan datangnya hujan. Sedangkan pintu langit dibuka lebar-lebar setiap kali hujan turun. Jadi doa yang dipanjatkan pada saat hujan kebanyakan diijabah oleh Tuhan. Jadi saat hujan dadakan itu muncul, bapaknya Rani sempat tak sengaja bilang kalau anaknya perempuan akan dinamai gerimis karena bapaknya memang sangat menginginkan anak perempuan. Jadi karena dikabulkan, nama itu resmi disandangkan kepadanya.
“Lalu kamu gimana Lintang, kenapa bapakmu menamaimu Lintang? Kayak garis lintang bumi saja.” Aku terjebak dalam mesin waktu setiap kali pertanyaan itu diajukan kepadaku. Aku tak tahu, dari dulu aku tak tahu apa sebabnya bapak memberiku nama itu. Kedengerannya sih keren. Tapi tetap saja tabu di telingaku. Kadang aku ikut-ikutan Rani memberi nama panjang pada namaku. Lintang Kamarun. Tapi kedengerannya seperti nama tokoh dalam salah satu novel favoritku. Tapi aku tidak peduli, jadi sejak saat aku punya nama panjang. Yaitu Lintang Kamarun. Bukan Lintang kemaren.
BACA JUGA : KETIKA PILIHAN MEMBUAT HATIKU BERCABANG
Apalah artinya nama kalau tidak dibarengi dengan ibadah. Setiap nama itu mengandung doa orang tua. Semua pasti berharap anak yang lahir menjadi anak yang baik, sayang orang tua, berguna bagi nusa dan bangsa dan harapan besar lainnya dari para orang tua. Meskipun banyak juga yang asal memberi nama. Coba bayangkan, harapan apa yang diminta orang tua ketika menamai anaknya Iyem, Markonah, Sapri, Ijah atau nama – nama sejenis yang kebanyakan diberikan oleh orang tua jaman dulu.
Orang zaman dulu gak pernah neko-neko. Kata ibu suatu malam kepadaku. Banyak tirakat dan ibadah, jadinya omongan yang keluar dari mulut saja bisa jadi kenyataan saking saktinya. Makanya nama juga dibikin sederhana. Beda sama zaman sekarang yang berlomba-lomba memberi nama sekeren-kerennya pada sang anak, tapi tirakatnya nol. Padahal manusia hidup itu nanti bakalan kembali pulang kepada yang punya. Kita di sini kan cuman numpang singgah. Gak lama.
Kepalaku langsung pening mendengar ucapan ibu. Obrolan berbobot nih, pikirku. Karena sudah menyangkut urusan hidup manusia. Bakalan butuh konsentrasi supaya aku bisa paham. Maklum, untuk ngomongin masalah manusia dan kehidupannya di dunia ini kadang otakku kurang nyampe. Jadi lama mengertinya. Ini pelajaran tentang hidup, tak akan pernah aku dapatkan di bangku sekolah manapun dan tingkat manapun.
Aku sering duduk sendirian di teras rumah, apalagi kalau sudah lewat tengah malam dimana semua penghuni rumah sudah pada berlabuh ke pulau kapuk masing-masing. Sedangkan aku masih saja berlayar sambil menatap langit malam dan mengamati apa saja yang terjadi di atas sana. Kadang kalau banyak bintang, aku berkhayal bisa memetik satu dan membawanya ke rumah. Kalau langit bersih tanpa bintang, aku jadi ikut sedih berharap bisa terbang ke sana mencari mereka. Kadang aku juga merasa melihat bintang jatuh. Tapi tak yakin karena mataku selalu mengantuk ketika aku merasa melihat sesuatu melesat di langit malam di atas sana. Tapi seperti kebanyakan mitos tentang doa yang dipanjatkan setiap kali ada bintang jatuh, aku pun mencoba melakukannya. Tapi aku tak pernah tahu apa yang aku minta kecuali satu kata yang selalu meluncur begitu saja dari mulutku. Pulang.
Entah apa yang ada dalam pikiranku, tapi aku merasa belum menemukan jalan pulang. Aku ada di rumah, tapi rumah itu seperti hanya tempat singgah. Seperti nasib manusia dengan banyak nama di bumi ini. Hanya sementara. Setiap pagi berangkat kerja, makan siang di kantin kantor, pulang jam lima sore, makan malam dan nonton TV di dalam rumah dan berakhir di tempat tidur. Begitu seterusnya rutinitas yang aku lalui hari demi hari. Dan setiap tengah malam, aku selalu terbangun dan seakan terdorong untuk melangkah ke teras rumah. Memandangi langit malam hingga tiba waktu tiga perempat malam. Saat itulah aku mengambil air wudhu dan menggelar sajadah. Bertanya kepada yang menciptakanku mengapa hidupku terasa hambar. Itu – itu saja. Tak mungkin kan aku diciptakan di dunia ini tanpa maksud apa-apa. Hanya sekedar memenuhi populasi manusia yang sudah membludak.
Kadang aku lelah dengan berbagai pertanyaan yang muncul tiba-tiba dalam benakku. Sederhana, kadang terlupakan, namun juga sering muncul kembali. Seperti ketika mbah kakung meninggal sehabis operasi hernia. Penyakit yang menyebabkan selaput yang membungkus usus ambrol sehingga melorot dan membuat usus masuk ke kantong kemih. Sebenarnya hernia bukan penyakit mematikan. Tinggal dioperasi satu kali dengan menjahit selaput yang jebol dan mengembalikan usus ke tempatnya semula sudah sembuh. Tapi karena mbah kakung takut operasi apalagi jarum suntik, hasilnya penyakit itu dibiarkan hingga dua tahun. Akibatnya ususnya membusuk dan harus dibuang. Perutnya harus dilobangi untuk membuat anus buatan. Kalau tidak begitu, bagaimana makanan bisa dibuang di anus kalau tidak punya usus. Jutaan pertanyaan singgah di pikiranku saat aku melihat sedikit demi sedikit tubuh kakung mulai berkurang bobotnya. Tubuhnya yang gagah perkasa, perlahan menjadi ringgih dan tinggal tulang dibalut kulit. Tak jarang aku mendengarnya mengeluh minta pulang.
“Bapak harus dirawat biar sembuh. Kalau sudah sembuh boleh pulang.” Kata ibu menghiburnya. Dan benar saja, setelah mbah kakung tidak meributkan keinginannya untuk pulang, besoknya mbah meninggal. Kata ibu, mungkin yang dimaksud mbah pulang itu ya mati. Pulang menghadap ke Sang Pencipta. Di hadapan sang Khaliq nanti, hal sederhana seperti nama akan dimintai pertanggung jawabannya. Otakku langsung sibuk memikirkan hal itu.
Kenapa aku dinamai Lintang. Aku bukan Lintang temannya si ikal di novel Andrea Hirata yang terkenal pintar itu. Aku juga bukan Lintang di novel teenlit terbitan Gramedia yang kebanyakan digambarkan sosok yang jenius sekaligus cupu. Aku Lintang. Gadis biasa dari keluarga sederhana. Anak tunggal yang tak pernah mimpi maupun berharap punya adik, meskipun banyak yang menggodaku dengan iming-iming enakan punya saudara karena bisa bikin heboh. Sayangnya aku tidak suka keramaian. Bintang di langit sana adalah teman-temanku dan kepada merekalah aku selalu menanyakan segala hal termasuk kemana arah jalan pulang menuju rumahku.
**
Gerimis sore itu tak membuat langkah Rani melambat sedikitpun. Wajahnya nampak tegang dengan tangan memegang erat tas kerjanya. Berharap tas kerjanya tak jatuh ketika disenggol pejalan kaki yang suka main serobot. Atau pencopet yang tiba-tiba nongol dan menjambret sesukanya. Rani memeluk erat tasnya seolah ada barang berharga di dalamnya. Setelah sampai di rumah sahabatnya, barulah gadis yang punya lesung pipi itu membuka tasnya. Tak lupa sambil berkicau ketika mendekati sahabatnya yang terbaring lemah di atas tempat tidurnya.
“Kamu ini memang bandel, Lintang. Kenapa nggak bilang kalau obat asmamu habis. Jadi sudah tiga hari ini kamu sesak seperti ini?” katanya dengan khawatir.
“Aku hanya tidak ingin bergantung sama obat itu, Ran.”
“Penyakit kok buat coba-coba. Kalau udah kayak gini gimana. Untung aku punya firasat nggak enak waktu lihat kamu ijin pulang cepat tadi. kenapa nggak libur aja sih. Udah tahu sakit masih saja kerja.”
Rani tidak membiarkan Lintang menyela kalimatnya sepatah pun. Dengan sigap, Rani menyiapkan air minum dan memberikan obat asma ke tangan Lintang. Dengan mata melotot, dia menyuruh sahabatnya itu segera meminum obatnya.
“Makasih Ran, aku akan ganti uangmu yang sudah kamu pakai buat beli obatku.”
“Awas kalau kamu berani-berani menggantinya. Kamu kan sudah kayak saudaraku, nggak perlu lah. Sekarang istirahat, kalau belum baikan juga kita langsung ke rumah sakit. Nggak boleh nolak.” Rani melotot sekali lagi ke sahabatnya. Lalu menemaninya hingga sahabatnya benar-benar tertidur pulas. Ia tak pernah menyangka jika sahabatnya itu tak pernah bangun lagi. Ia baru menyadarinya ketika bapak ibunya yang baru pulang dari luar kota menengok anak semata wayang mereka di dalam kamar. Mereka nampak lega melihat Rani, sahabat sang anak menemaninya sepanjang malam. Namun ketika mencoba membangunkan Lintang, tubuh gadis itu sudah kaku dan matanya sudah tak membuka lagi. Rani baru menyadari satu hal. Posisi tidur Lintang yang bersendekap dengan tangan tangan di atas tangan kiri, seperti posisi orang yang siap dikafani. Masya Allah…
Di depan pusara Lintang, Rani menangis tak henti-henti seperti gerimis yang mendadak datang di tengah panasnya sinar mentari siang itu. Tak ada firasat, tak ada tanda-tanda, sahabat yang sudah membuatnya sadar diri itu pergi untuk selamanya. Rani tertunduk sambil berujar.
“Waktu memang begitu kejam ya Lintang. Bahkan aku gak pernah nyadar kalau semalam adalah pertemuan terakhir kita. Aku bahkan belum berterima kasih kepadamu. Teman yang menyadarkan aku untuk selalu bersyukur. Tau nggak, kalau aku pikir-pikir gerimis nama yang oke juga loh, seperti Lintang.”
Rani mengusap pusara Lintang sambil menghapus air mata yang deras mengalir di pipinya.
“Selamat jalan saudariku, sekarang kamu sudah menemukan jalan pulang. Bukankah itu yang selalu kamu tanyakan di sepanjang hidupmu? Tentang pulang menuju kedamaian. Hidupmu tidak hambar, karena kamu mengajariku banyak hal. Untuk itulah kamu hidup Lintang. Untuk mempertemukan aku kembali pada kesadaranku bahwa aku selama ini tak pernah bersyukur. Kalau bukan waktu yang mempertemukan kita dan menjadikan kita teman, mungkin aku masih ada di klub malam, bersenang-senang dengan banyak pria dan mati tanpa sempat mengenal agama. Kamu yang mengajariku semua itu Lintang dan tak pernah sedikitpun kamu meminta bayaran. Harusnya aku yang mati duluan, tapi Tuhan terlalu sayang padamu. Terima kasih sahabat. Kini aku juga menemukan jalan pulang. Dengan mengikuti apapun yang sudah kamu ajarkan kepadaku. Sholat lima waktu, sholat malam, puasa, sedekah dan semua kebaikan yang kamu punya. Tuhan mengirimkan kamu untuk aku, Lintang. Itu yang sering aku katakan kepadamu tapi tak pernah kamu hiraukan.”
Rani menumpahkan air matanya sejadi-jadinya. Bersamaan dengan hujan yang mendadak saja mengguyur bumi. Seakan langit ikut runtuh. Rani tak pernah tahu jika Lintang juga ada di sana. Menyaksikan semua pengakuan Rani yang ternyata juga menyadarkannya. Kebaikan ternyata memang tak perlu diungkapkan. Karena itulah pahala kehidupan yang sebenarnya. Kini dia tahu tujuan dia dilahirkan dan dia bersyukur akan hal itu. Dengan senyum memancar di balik tubuhnya yang memancar cahaya putih, Lintang berjalan menuju jalan pulang yang terbentang di depannya.
**
Ini ceritaku, mana ceritamu?
Cerpen by Wahyu Indah
Day08#30hariBercerita