Ketika jiwa sudah jatuh ke bawah, rasanya hidup tak ada artinya lagi. Segala mimpi pergi, nafaspun seakan terhenti. Semangat pudar membuat wajah muram tak bercahaya. Keadaan seperti itulah yang terjadi pada saya beberapa tahun yang lalu. Ketika wajah lain bercahaya dan penuh semangat datang ke kampus untuk menuntut ilmu. Saya justru melangkah dengan tatapan kosong. hanya raga saya yang seakan menyentuh bumi. Sementara jiwa saya berkelana ke sana kemari.
Jika waktu bisa diputar kembali, ingin rasanya saya kembali ke masa itu. Masa dimana wajah penuh perjuangan dan ambisi tertangkap di remaja yang baru saja merasakan masa bebas seragam sekolah. Awal kuliah yang seharusnya disambut dengan semangat baru, malah tertutupi awan mendung yang seolah hanya menaungi tubuh saya. Sementara langit cerah menebar di segala penjuru. Ya, itulah masa-masa sulit saya. Masa kuliah saya. Di Universitar Brawijaya Malang.
Bukan karena saya tidak semangat kuliah. Saya sangat semangat menempuh pendidikan saya, apalagi kampus yang saya masuki termasuk salah satu kampus favorit di kota kelahiran saya. Kampus Universitas Brawijaya Malang. Siapa sih yang tidak bangga bisa masuk masuk kampus biru itu. Banyak pujian yang mengair kepada saya, ketika saya berhasil menyisihkan ribuan kandidat mahasiswa yang ingin berebut masuk kampus terbaik di kota Malang saat itu. Saya pun ikut merasakan euforia mahasiswa baru kala itu. Tapi ada satu duri yang bersemayam dalam diri saya yang membuat saya tidak sebahagia yang nampak.
Jatuh cinta.
Dua kata yang membuat saya tak lagi berpikir logis. Dua kata yang seharusnya membawa kebahagiaan berbalik menjadi bumerang bagi saya. Bukan berarti saya menyesal sudah jatuh cinta. Bukan. Tapi saya jatuh cinta pada orang yang salah dan waktu yang salah. Saya belum siap untuk jatuh cinta. Tapi saya menjalani hubungan yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya. Saya sendiri kadang bertanya, kenapa hanya karena masalah asmara, hidup saya jadi hancur lebur begini. Hati kecil saja selalu bilang kalau saya belum siap. Itu masalahnya. Dan semuanya sudah berantakan dan tak tahu arah.
Saya tidak tahu harus menyalahkan siapa. Atau memang tidak ada yang perlu disalahkan karena saya yang seharusnya instrospeksi diri. Tapi satu hal yang saya sadari dari diri saya adalah saya berbeda. Bila orang lain bahagia karena cinta, saya malah sebaliknya. Lalu mengapa menjalin hubungan tanpa rasa. Itu yang membuat saya galau dan tak menemukan jawabannya. Kalau saja saya sudah bisa berpikir sedikit dewasa seperti saat ini, mugkin saya bisa mengatasi masalah hati yang sakit saat itu. Tapi kala itu saya masih remaja yang mencari jadi diri. Keinginan utamanya hanya sekolah dan menuntut ilmu. Tidak ada target jatuh cinta.
Mungkin yang saya katakan di sini terlihat seperti hiperbola, sok mendramatisir. Tapi saya bicara apa adanya. Saya bukan orang lain yang bisa dengan mudah jatuh cinta. Saya orang rumahan yang terlalu takut untuk melihat dunia luar. Ketika saya akhirnya masuk dunia luar itu, yang terjadi adalah kagok. Saya shock. Pelajaran yang biasanya dengan mudah masuk ke dalam otak, hanya numpang lewat saja di kepala saya. Tugas kuliah yang seharusnya menjadi sesuatu hal yang menyenangkan, menjadi menakutkan dan beban bagi saya. Menangis menjadi sesuatu hal yang biasa terjadi pada diri saya saat itu. kenapa bisa begini, kenapa bisa begitu.
Tak ada yang salah dengan cinta memang. Tapi mungkin saya saja yang termausk orang aneh. Upnormal. Sibuk menata diri dan berusaha untuk keluar dari lingkaran asmara yang belum saatnya datang. Saya masih ingin kuliah. Jangan menikah dulu. Apakah keinginan saya salah? Hati kecil saya berkata bahwa saya tidak bersalah. Dia pun tidak bersalah. Cinta juga tak salah dan tak ada yang perlu disalahkan. Tapi kesiapan untuk menata hati yang perlu dimatangkan.
Saya memberanikan diri untuk mengakhiri hubungan dan fokus kembali ke kuliah. Menatap masa depan yang masih absurb. Saya masih mahasiswa saat itu. belum siap terjun ke masyarakat. Masih banyak belajar. Butuh banyak pegangan. Hingga akhirnya cinta itu datang lagi dari sosok lain. Saya mencoba berdamai. Tidak ada yang salah dengan cinta. Terimalah dan lihat bahwa cinta itu memang indah seperti yang dikatakan orang. Saya menerima cinta tanpa rasa… lagi. Saya pikir cinta itu maha baik. Pasti bisa menerima kekhilafan seseorang. Kalaupun jujur di akhir tidak akan ada masalah. Namun saya kembali ditendang jatuh ke jurang ketika kejujuran saya bahwa cinta datang belakangan, ternyata menimbulkan luka. Saya pun kembali shock. Kalau tahu begitu, kenapa saya nekad menerima cinta tanpa rasa. Harusnya saya tidak mengenal cinta sekalian.
Saya yang berusaha untuk kembali bangun, ternyata jatuh lagi dan kali ini ke jurang yang makin dalam. Sungguh, saya tidak terima. Apakah ini karma. Saya ditinggalkan karena dulu pernah meninggalkan. Mengapa saya terlalu terpuruk untuk hal sesepele ini. Saya ingin seperti orang lain yang masih bisa melanjutkan hidup meskipun baru saja putus cinta. Bahkan saya terpesona dengan para playboy atay playgirl yang bisa putus nyambung dengan beberapa pasangan berbeda. Apakah cinta tidak membuat mereka sakit hati. Kenapa saya tidak bisa seperti mereka. Mengapa saya begitu berbeda?
Tahu tidak, gara-gara cinta saya tidak pernah bisa konsentrasi kuliah. Saat diputus cinta, saya terjebak dalam sakitnya hati yang tak kunjung sembuh. Galau, dilema membuat hidup saya benar-benar kacau. Butuh banyak pengorbanan untuk bisa move on. Sungguh, jika waktu bisa diputar kembali saya ingin kembali ke masa-masa awal kuliah. Ketika saya menginjakkan kaki di kampus biru, saya menebar pandangan dan menyakinkan diri bahwa saya sudah bukan anak SMU lagi. Saya sudah mahasiswa dan berteman dengan banyak pendatang. Di kelas saya hanya 4 anak yang dari Malang. Selebihnya dari luar kota. Bahkan luar pulau. Berkali-kali saya mencoba menyadarkan diri bahwa saya harus fokus kuliah. Ini pelajaran mudah, saya biasa dapat nilai 100 saat SMU. Tapi kenapa saat kuliah seakan sulitnya minta ampun. Ayo Indah… ayo kamu bisa. Kamu tidak boleh rapuh. Kata-kata itu yang selalu saya ucapakan kepada diri sendiri. mengingatkan saya untuk segera kembali ke dunia nyata. Tapi saya kalah.
Saya terlalu larut dalam kesedihan yang tak berkesudahan. Hanya lembaran tulisan yang membuat saya kembali bisa bernafas. Sungguh, jika saya punya pintu kemana saja milik doraemon, saya akan kembali ke masa lalu. Masa saat saya mengikuti ospek jurusan dan berkenalan dengan mahasiswa baru lainnya. Masa ketika saya yakin dan mantap seperti saat pertama kali saya masuk SMU. Masa ketika saya menginjakkan kaki di gedung fisika UB.
Saya percaya, jika masa itu bisa saya lewati, kehidupan saya sekarang mungkin berbeda. Tapi semuanya sudah terjadi dan saya akhirnya bisa berdamai dengan waktu. Satu hal yang saya tekankan pada diri saya saat ini. Saya tidak boleh kembali jatuh. Apapun alasannya saya harus lebih kuat. Saat ini jatuh cinta lagi. Yaitu pada suami dan anak-anak saya. Mereka bukan membuat saya jatuh, tapi membuat saya lebih hidup dari sebelumnya. Cinta saya kepada Allah, Tuhan semesta alam membuat saya kembali berdiri kokoh. Begitu juga cinta keluarga.
Belajar dari penyesalan yang sudah pernah terjadi, saya bangkit dengan wajah baru dan hidup baru. insyaAllah lebih matang dan lebih terarah. Semoga selalu istiqomah. Amin…
Salam sayang,
Wahyuindah
DAY23#BPN30dayChallenge2018