“Saya ingin teman-teman tunanetra tidak hanya sekadar bisa hidup, tapi juga bisa berkontribusi bagi masyarakat.”
Tutus Setiawan, seorang pria tunanetra yang dengan semangatnya selalu menyuarakan aspirasi para disabilitas. Terutama tunanetra.
Tidak bisa melihat dunia dengan kedua mata yang diberikan Tuhan, bukan berarti tidak bisa melihat dunia dengan hati serta panca indera yang lain. Tutus membuktikan bahwa buta mata tidak membuatnya menjadi sosok yang buta hatinya.
Banyak pengalaman pahit yang diterimanya ketika dirinya menjadi seorang tunanetra. Tidak diterima masyarakat, dikucilkan, dipandang sebelah mata hingga didiskriminasi sudah menjadi makanan sehari-hari.
Meskipun Tutus sudah bisa menerima keadaannya yang benar-benar sudah buta. Tapi semangatnya membuat Tutus tidak ingin nasib buruk yang pernah dialaminya juga menimpa tunanetra yang lain.
Hatinya tergerak untuk membuat orang lain tidak lagi memandang sebelah mata kepada para tunanetra. Mereka juga manusia yang memiliki hak sama dengan orang lain untuk mendapatkan perlakuan baik di masyarakat, mendapatkan pendidikan yang layak maupun pekerjaan.
Sayangnya dunia nyata tidak seperti itu. Masih banyak perusahaan yang belum bisa menerima para tunanetra untuk bekerja atau sekolah umum yang tidak menerima mereka. Miris kan.
Tutus tahu bagaimana rasanya dikucilkan, didiskrimaniskan atau bahkan dibuang. Karenanya Tutus tak ingin nasib yang sama juga dialami oleh rekan-rekan tunanetranya. Itulah kenapa Tutus berjuang untuk memberdayakan para tunanetra dengan berbagai keterampilan, sehingga peran mereka di masyarakat juga dapat diperhitungkan.
Suara Tutus mungkin awalnya tidak didengar. Tapi berkat aksi nyata yang dengan penuh semangat terus diperjuangkannya, semakin banyak orang yang pada akhirnya mau mendengarkannya. Bahkan berjuang bersamanya dalam memberdayakan para tunanetra.
Usaha Tutus akhirnya berhasil. Tutus bahkan bisa mengantarkan tunanetra lainnya untuk berprestasi seperti dirinya dengan menang lomba dalam ajang Global IT Challenge.
Sampai hari ini pun, semangat juang seorang Tutus tak pernah putus. Melalui berbagai aksi nyatanya, Tutus terus berusaha mendobrak batas dunia agar tunanetra juga didengar dan diapresiasi.
Kisah inspirasinya mampu membangkitkan empati banyak orang, sehingga tunanetra akhirnya mendapatkan tempat di tengah masyarakat yang makin mendunia.
Daftar Isi
Kisah Inspiratif dari Sosok Tunanetra
Menjadi buta bukan pilihan seorang Tutus Setiawan. Pria yang lahir tanggal 6 September 1980 di Kota Surabaya ini sebenarnya tidak lahir dalam keadaan buta.
Tutus kecil tumbuh menjadi anak yang cerdas dan sehat sampai usianya 8 tahun. Tapi sebuah kecelakaan di bangku sekolah, membuatnya harus kehilangan saraf penglihatannya.
Bukan tanpa usaha, keluarga Tutus mengobati luka yang dialami anak SD yang cerdas tersebut. Tapi berbagai usaha medis yang sudah dilakukan tetap tidak membuahkan hasil. Alhasil, sejak itu Tutus tidak bisa melihat dunia lagi. Matanya buta.
Apakah hidupnya berakhir sejak saat itu? Ternyata tidak saudara-saudara. Tutus mungkin awalnya tidak bisa menerima nasib yang menimpanya. Tapi seiring berjalannya waktu, Tutus mulai mulai memahami garis hidupnya dan menerima keadaannya yang serba gelap.
“Hidup harus terus berjalan” katanya dengan pasrah dan menerima kondisinya secara perlahan.
Semangat seorang Tutus bahkan dibuktikan dengan prestasi akademik yang berhasil diperolehnya di sekolah. Tutus bahkan melanjutkan sekolah SMP Luar Biasa dan SMA Kemala Bhayangkari 2 yang notabene adalah sekolah umum.
Sebagai satu-satunya murid disabilitas di sekolah SMU tersebut, Tutus berhasil menorehkan prestasi akademik yang membuatnya mendapatkan beasiswa. Tutus bahkan melanjutkan kuliah di Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Surabaya (Unesa) dan lanjut S2 di kampus yang sama. Amazing ya.
Saat ini, Tutus bekerja sabagai guru SMPLB-A dan SMALB-A YPAB Surabaya. Bukan hanya itu, solidaritasnya terhadap disabilitas seperti dirinya terutama tunanetra menggerakkan hatinya untuk membangun sebuah lembaga pelatihan.
Usaha kerasnya bisa dibilang tak mudah. Tutus bersama rekan-rekan disabiltasnya berusaha mewujudkan berdirinya Lembaga Pemberdayaan Tunanetra (LPT) agar dapat membantu para tunanetra dalam menjalankan hidupnya.
Aksi Nyata Seorang Tutus Setiawan
Hidup bukan hanya dijalani dengan datar dan meratapi nasib. Tapi harus diisi dengan banyak kegiatan bermanfaat agar hidup terasa bermartabat. Mungkin seperti itulah filosofi yang dijalani oleh Tutus.
Kenyatannya memang benar. Tutus tidak berhenti begitu saja menerima nasibnya sebagai seorang tunanetra. Tapi Tutus terus berusaha untuk membantu tunanetra lainnya agar lebih berdaya.
Beberapa aksi nyata yang sudah dilakukannya yaitu :
-
Mendirikan Radio Braille Surabaya
Tunanetra akrab dengan kata-kata Braille, yaitu huruf-huruf timbul yang digunakan para tunanetra untuk membaca sebuah teks bacaan. Braille inilah yang mengidentifikasikan seorang tunanetra dan digunakan Tutus untuk mendirikan sebuah siaran radio yang dibawakan oleh para tunanetra.
Nama radionya adalah Radio Braille Surabaya. Chanelnya membahas tentang aksesibilitas sarana transportasi di Kota Surabaya. Khususnya bagi disabilitas yang ada di Kota Surabaya.
Berkat channel yang launching tanggal 3 Desember 2022 ini, suaranya akhirnya didengar oleh Pemkot Surabaya. Hasilnya, Pemkot menggratiskan ongkos naik Surabaya Bus bagi disabilitas.
Perjuangan Tutus dan rekan-rekan disabilitasnya di RBS tentu saja tidak sebentar. Mereka terus rutin membuat konten bermanfaat mengenai sarana transportasi di Surabaya dengan menghadirkan reportase terkini dan terupdate.
Keahlian rekan-rekannya juga mumpuni, sehingga konten yang dihasilkan pun menarik dan informatif. Keren ya.
-
Mengadakan Pelatihan Jurnalistik bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya
Keberhasilan reportase Tutus dan rekan-rekannya tak lepas dari peran kawan-kawan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya. Tutus sengaja meminta dukungan dari para jurnalis tersebut untuk memberikan pelatihan jurnalis kepadanya dan rekan-rekan disabilitas lainnya.
Semangat Tutus yang pantang menyerah itulah yang menggerakkan teman-teman jurnalis untuk tergerak membantu Tutus dan rekan-rekan disabilitasnya.
Berbagai pelatihan jurnalis pun diberikan kawan AJI kepada Tutus dan rekan-rekan disabilitasnya, mulai dari pelatihan bagaimana menggunakan teknik pernafasan ala penyiar radio, teknik wawancara, teknik pengambilan gambar menggunakan handphone dan pelatihan lainnya.
Hasilnya bisa dilihat dan dirasakan oleh Tutus dan kawan-kawan disabiltasnya. Mereka berhasil membuat konten yang bermanfaat dan menarik. Tutus bahkan membuat konten berbentuk video agar dapat dinikmati oleh masyarakat luas. Tidak hanya kaum tunanetra saja.
Kalau dilihat, teman-teman jurnalis di AJI yang berjasa pada keberhasilan Radio Braille Surabaya. Namun menurut Hanaa Septiana selaku Sekretaris AJI mengungkapkan justru merekalah yang belajar banyak dari Tutus dan kawan-kawan disabilitasnya.
“Baru bersama RBS kami dipercaya untuk melatih kawan-kawab disabilitas netra. Tentu ini pengalaman pertama bagi sebagian besar dari kami. Jadi di Radio Braille Surabaya ini pula kami belajar untuk mengembangkan praktik jurnalisme yang inklusif.” Terang Hanaa dalam sebuah wawancara.
Jadi kunci keberhasilan Radio Braille Surabaya bukan pada giatnya pelatihan jurnalisme yang diberikan AJI kepada Tutus dan kawan-kawan disabilitas. Tapi dari inisiatif dan semangat Tutus dan kawan-kawan disabilitasnya yang meminta untuk dilatih. Tak heran jika hasilnya luar biasa kan.
-
Kolaborasi dengan Pers Mahasiswa
Masih mengenai Radio Braille Surabaya yang makin mengudara di Surabaya. Selain dukungan pelatihan dari Aliansi Jurnalis Independen, RBS juga mendapatkan bantuan dari teman-teman Pers Mahasiswa dari berbagai kampus di Surabaya.
Pers Mahasiswa ini diperbantukan untuk mendampingi kru Radio Braille Surabaya melakukan peliputan lapangan. Namun sebelumnya, mereka akan dibekali pelatihan oleh AJI tentang bagaimana caranya berinteraksi dengan disabilitas tunanetra, sehingga dapat membantu menjaga keselamatan kru disabilitas saat liputan di lapangan.
Banyak mahasiswa yang antusias loh untuk ikut berkolaborasi dengan RBS. Bahkan Universitas Negeri Surabaya ikut membantu pembuatan website untuk RBS, sehingga peliputan yang dilakukan dapat diakses dalam bentuk naratif dan ada dokumentasinya. Sehingga bisa diakses lebih banyak orang. Mantap kan.
-
Mendirikan Lembaga Pemberdayaan Tunanetra
Jauh sebelum berdirinya Radio Braille Surabaya, Tutus Setiawan ternyata sudah mendirikan Lembaga Pemberdayaan Tunanetra (LPT) tahun 2003.
Sama seperti RBS, pendirian LPT juga penuh perjuangan. Alasan terbesar dibentuknya LPT ini adalah karena banyaknya diskriminasi yang diterima oleh disabilitas tunanetra.
Sebagai seorang tunanetra, Tutus mungkin bisa menerima penolakan dan diskriminasi dari masyarakat. Tapi hati kecilnya menjerit jika hal yang sama juga dialami oleh teman-teman disabilitasnya yang lain.
Berangkat dari keinginan itulah, Tutus bertekad untuk membentuk sebuah lembaga yang di dalamnya ada beragam keterampilan yang diberikan kepada teman disabilitas agar mereka dapat mandiri dan memiliki banyak keterampilan.
Beragam pelatihan pun diberikan, mulai dari workshop, pelatihan master of ceremony, pengenalan IPTEK, pemberdayaan literasi dan kewirausahaan, pembinaan mental, pembangunan rasa percaya diri serta pelayanan aksesibilitas.
Alfian, siswa kelas 3 SMAN 8 Surabaya yang menjadi salah satu siswa di LPT bahkan menjadi juara 2 di Global IT Challenge yang diselenggarakan di Jakarta.
Siswa lainnya juga banyak yang berprestasi. Ada yang jadi arsitek, penulis bahkan pengusaha. Semua berkat binaan dari Tutus Setiawan dan rekan-rekannya di Lembaga Pemberdayaan Tunanetra (LPT). Hebat kan.
-
Menjadi Guru di Sekolah Luar Biasa
Seabreg kegiatan Tutus Setiawan di atas hanyalah kegiatan sampingan yang ternyata mampu melahirkan banyak tunanetra yang berprestasi. Kegiatan utamanya adalah seorang PNS dengan menjadi guru di sekolah luar biasa di Surabaya.
Dedikasinya sebagai seorang guru memang patut diacungi jempol. Tutus tidak hanya mengajar, tapi juga memberikan nilai-nilai perjuangan yang patut untuk diteladani oleh banyak orang, khususnya kaum disabilitas tunanetra seperti dirinya.
Tak heran kan jika beragam aksi nyata Tutus ini akhirnya mendapatkan apresiasi dari Astra. Tutus mendapatkan penghargaan SATU Indonesia Awards dari Astra tahun 2015 lalu.
Meskipun demikian, aksi nyatanya tidak berhenti saat mendapatkan penghargaan saja. Bahkan sampai detik ini pun, Tutus masih terus beraksi dengan semangatnya yang tinggi untuk membantu disabilitas tunanetra mandiri dan berdaya.
SATU Indonesia Awards dari Astra untuk Dedikasi Tutus Setiawan
“Saya tidak mendaftarkan tidak mengajukan. Tiba-tiba ada yang menghubungi saya mewanwancarai saya layaknya wartawan. Kemudian beberapa lama setelah itu saya dihubungi kembali untuk menerima anugerah SATU Indonesia Awards 2015 lalu.” Ujar Tutus Setiawan ketika ditanyai mengenai penghargaan Astra yang diterimanya.
Tutus Setiawan memang pantas mendapatkan penghargaan Astra. Dedikasinya menjadi bukti nyata dari keprihatinannya terhadap diskrimanasi yang diterima disabilitas tunanetra yang tidak hanya berhenti di kata “kasihan.” Tapi empati yang berbuah menjadi aksi nyata dengan melahirkan banyak tunanetra yang kini mandiri dan berprestasi.
Kita harus berterima kasih nih kepada orang yang sudah mendaftarkan Tutus Setiawan ke Astra. Sosoknya yang inspiratif sangat dibutuhkan untuk hadir di tengah masyarakat, khususnya untuk disabilitas tunanetra yang butuh dukungan moril dan materiil agar mandiri dan terampil.
Penghargaan Astra kategori pendidikan ini bukan satu-satunya penghargaan yang diterima Tutus. Ada banyak penghargaan lainnya yang merupakan apresiasi terhadap perjuangannya dalam memberdayakan disabilitas tunanetra.
Kita patut bangga pada sosok Tutus Setiawan dan belajar banyak dari sifatnya yang pantang menyerah dalam berjuang. Tutus bukan sekadar bicara, tapi melakukan tindakan aksi nyata yang dapat dicontoh dan diteladani. Ini yang penting.
Semoga ke depannya makin banyak Tutus Tutus lainnya yang juga peduli dengan kaum disabilitas. Bukan hanya tunanetra, tapi juga disabilitas yang lainnya.
Ingat, mereka juga manusia yang berhak mendapatkan kehidupan yang layak seperti manusia lainnya. Sudah sepatutnya kita merangkul mereka dan memberikan tempat di tengah masyarakat yang heterogen ini.
Jangan memandang sepele mereka. Karena faktanya banyak disabilitas yang berprestasi. Bahkan mengalahkan kita yang normal.
Yuk stop diskriminasi kaum disabilitas dan jadikan mereka teman dalam setiap aktivitas. Terima kasih kak Tutus. Dari dirimu, banyak hati yang tergerak untuk melakukan aksi nyata serupa. Sukses selalu.
**
Referensi :
https://anugerahpewartaastra.satu-indonesia.com/2023/artikel/5809/