Saya lahir di kota Malang. Sekolah di Malang, menikah pun di kota Malang. Bosan gak sih?
Saya sih bosan sebenarnya. Pengen keluar kandang. Keluar dari zona nyaman. Makanya saya kadang iri sama teman-teman kuliah yang kebanyakan anak perantauan.
Bayangkan. Dari jurusan saya, yang berjumlah 60 anak. Hanya 6 orang yang asli Malang. Sisanya anak rantau semua. Ada yang dari Pekalongan, Madura, Solo, Sumatera, bahkan yang Kalimantan juga ada. Eh anak dari Lombok juga masuk kampus loh. Alamak…
Mendengar cerita teman soal merantau ke Malang, ternyata asyik juga. Sebagian besar karena ingin masuk kampus idaman. Hidup jauh dari orang tua, mengajari mereka mandiri. Baik secara finansial maupun mental.
Hmm… pantas sih, kebanyakan teman-teman yang merantau berakhir sukses. Karena ada yang bertekad pantang pulang ke kampung halaman, sebelum membawa kesuksesan di tanah rantau. Salut.
Anak rantau juga punya insting kuat untuk survival. Ibarat kata, masuk ke kota orang. Tidak tahu apa-apa. Harus belajar banyak agar tidak tersesat.
Contoh nyata, saya ambil dari kisah teman saya. Adul. Anggap saja namanya itu. (Tapi emang nama panggilan teman saya itu Adul. Hehe). Awal masuk kota Malang, yang dilakukannya adalah keliling kota. Menghafalkan jalan.
Jadi harus tahu rute di dalam kota, mana jalan tikus, mana letak bakso langganan misalnya. Dimana cari barang murah, dll. Saya yang asli Malang saja gak hafal jalan. Kalah sama anak rantau yang tahu jalan tikus segala. Hadeh.
Nah, singkat cerita. Saya jadi belajar banyak dari teman saya yang merantau ke kota saya, Malang. Dan saya bertekad agar bisa merantau keluar Malang. Kemanakah? Tidak ada target waktu itu. Pokoknya keluar dulu deh dari Malang. Sumpek bin bosen. Hehe.
Keinginan saya akhirnya terwujud juga ketika saya mendapatkan pekerjaan di Jakarta. Selepas lulus kuliah dari kampus Brawijaya Malang. Bayangan saya waktu itu. Wuih Jakarta. Kota Metropolitan. Kota impian banyak umat. Bisa gak ya, saya hidup di sana.
Pertama kali melihat Jakarta, saya langsung wow. Berasa seperti anak desa yang masuk kota. Padahal saya tinggal di Malang kota loh. Sudah banyak mallnya, banyak bioskop untuk menonton film dan banyak kampusnya. Malang sudah modern gais. Tapi yang namanya belum pernah menginjak Jakarta, saya ya katro juga. Hehe.
Untunglah ada tante yang tinggal di Jakarta. Tepatnya di Jakarta Selatan. Dekatnya kebun binatang Ragunan. Jadi ke sanalah tujuan awal saya. Menghindari nyasar. Ada mama yang menemani saya untuk pertama kalinya. Juga adik yang saya bawa serta.
Seperti yang dilakukan teman rantauan saya waktu kuliah, saya pun berkeling Jakarta dulu untuk mengenal jalan. Tapi ya itu, susah juga ternyata. Nyasar berkali-kali. Tapi asyik juga loh. Naik kapoja, angkot yang kebanyakan angka. Kalau di Malang, pakai huruf. Pengalaman pertama yang tak terlupakan deh pokoknya.
Tanah Abang juga keren loh. Seperti mall. Padahal tante saya bilangnya, tanah abang itu pasar. Tempat tante kulakan kain buat usaha jahitnya. MasyaAllah, ternyata tanah abang bersih ya. Lantainya ubin. Kalau pasar kan kebanyakan lantainya tanah dan kotor. Ini bersih. Kayak mall. Katro banget ya saya. Hehe…
Kebun binatang Ragunan juga bagus dan luas. Di Malang tidak ada kebun binatang sih. Kalau mau ke bonbin, saya perginya ke Surabaya. Karena bonbinnya adanya di Surabaya. Tapi sekarang sudah gak seramai dulu ya. Sedih jadinya.
Luas dan rindang. Itukah kesan pertama kali saya masuk ke Ragunan. Saya reunion sama teman kuliah di Ragunan loh. Anehnya, malah ditertawain sama Amel. Teman yang baru saya kenal di Jakarta. Katanya emang gak ada tempat lain selain Ragunan buat reunian. Ngapain ke sana? Mau nyamain muka sama si nyemot? Hahaha…
Saya kok gondok ya lihat teman saya ketawa. Memangnya apa salahnya ketemuan di Ragunan. Dan apakah harus menyamakan muka kalau pergi ke sana? Yang aneh itu saya atau teman saya sih. Hayo yang anak Jakarta bisa jelasin gak?
BAHASA GAUL ELU GUE
Anak Malangan terkenal dengan bahasa walikan. Meskipun saya sampai sekarang belum fasih, padahal asli ngalam loh. Aremanita. Hehe… maaf yo ker..
Nah, di Jakarta sana bahasa sehari-harinya pakai elu gue. Pertama kali mendengarnya terasa asing di telinga. Waktu saya menirukan juga terdengar aneh. Jadi ingat dengan teman sesama Malang, yang ngotot pakai elu gue buat komunikasi sama saya.
Ya udahlah mbak. Anak Malang ngomongnya aku kamu saja. Gak usah niru anak Jakarte. Aneh dengernya pake elu gue.
Saya mencoba mengingatkan teman saya. Tapi teman saya tetap pede ngomong elu gue, dengan dialeg medok Jawanya. Bisa dibayangin gak dengernya gimana saudara-saudara…
Sudahlah, saya nyerah. Terserah dia. Hahaha…
Oh iya, dari tadi saya belum bilang ya. Saya kerja apaan di Jakarta. Jadi ceritanya saya numpang tidur di apartemen Rasuna Said. Tempatnya mbak Mia Amalia.
Saya belajar nulis skenario di sana dan bergabung di production House FrameRitz, yang diproduseri pak Sentot Sahid. Tentunya di bawah timnya mbak Mia Amalia.
Anak desa masuk apartemen. Shock gila. Itu yang saya rasakan pertama kali ketika menginjakkan kaki di apartemen. Tak pernah bermimpi saya sebelumnya, bisa masuk ke dalam sebuah apartemen.
Nun bagi saya itu tempat tak terjamah yang tak mungkin saya datangi. Tapi berkah kuasa Ilahi. Eh kok kayak judul program tv ya. Hihihihi…. Saya menginjakkan kaki di sana juga.
Apartement itu ternyata keren saudara-saudara. Tempatnya gak terlalu besar sih, seperti rumah. Tapi sudah lengkap furniture di dalamnya. Bahkan mewah semua.
Saya benar-benar katro deh sama kompor listrik yang pakai tombol kalau nyalain. Juga tv pintar yang lebar banget. Hahaha… tv di rumah saya belum LED waktu itu. Masih pakai remot dan sering rusak. Dikaretin kalau baterainya suka copot. Wkwkwk…
Oh iya, denger-denger Rasuna Said termasuk salah satu apartemen high class ya. Makjleb banget waktu ingat bisa numpang tinggal di sana. Meski hanya sebulan, rasanya setahun loh. Uniknya lagi, di sebelah apartemen langsung berbatasan dengan kampung. Jadi hanya dibatasi tembok saja. Bagai langit dan bumi deh kalau membandingkan keduanya.
Saya adaptasi seratus persen di sana. Karena menuju ke kamarnya mbak Mia, harus naik lift. Tiap pagi, diajak jogging di lantai 4, dimana ada lapangan buat olahraga di sana.
Ada play ground juga buat anak anak. Dan kebanyakan yang keluar adalah para pembantu rumah tangga dengan anak majikannya. Para majikan jogging ria, atau tennis. Lalu sekitar jam 8 an, masuk lagi ke apartemen. Rutinitas yang wow…
Seperti yang sudah saya bilang tadi, saya hanya satu bulan di sana. Tapi rasanya seperti satu tahun. Karena setiap harinya berharga.
Saya benar-benar merasakan tahunan tinggal di Jakarta, justru ketika saya bergabung di PH milik pak Erick dan Bu Nucke Rahma. Saya tinggal di mess yang sudah disediakan. Lumayan, tak perlu kost.
Mess itu rumah. Jadi rumah yang ditujukan untuk karyawan, letaknya tidak jauh dari tempat kerja. Jadi kalau mau langsung cuzz kerja, tinggal teriak dari balkon atas. Hehe. Maksudnya, kerjaan saya kan menulis. Tak kenal waktu buat acara meeting. Mau pagi, siang, bahkan tengah malam ya tetap dipanggil.
Shock dong dengan rutinitas yang seperti romusha itu. Jam satu malam disuruh ke kantor buat meeting. Baru selesai subuh. Pagi jam 7 harus mengerjakan naskah. Siangnya ke lokasi syuting. Atau ikut meeting keluar kota. Istirahatnya kapan? Ya di sela – sela waktu yang tersedia. Hiks… memberontak di awal. Tapi lama-lama dinikmati juga. Sudah terbiasa.
Masalahnya, pekerjaan sebagai penulis naskah membuat saya jauh dari peradaban. Tak ada waktu jalan-jalan ke mall. Atau sekedar main ke tugu monas.
Percaya atau tidak, dua tahun saya di Jakarta. Belum pernah satu kalipun saya melihat monas secara langsung. Sementara mama dan adik saya, yang hanya jalan-jalan. Atau menjenguk saya, sudah berkali-kali ke sana. Hiks…
Kehidupan perantauan saya di Jakarta memang penuh kenangan. Ada banyak perjuangan dan air mata di sana. Bukan karena kost, karena saya tidak pernah kost. Alhamdulillah tinggalnya di mess yang tidak ditarik bayaran per bulan. Pengorbanannya adanya di waktu. Saat itu saya sudah menikah dan suami kehilangan perhatian saya.
Pilih karir atau keluarga. Begitu katanya akhirnya.
Karir melonjak membuat dilema tersendiri dong untuk dijadikan pilihan. Tapi kalau diteruskan, bagaimana kami bisa punya anak. Sementara pernikahan sudah berjalan selama dua tahun. Suami ingin punya anak. Saya pun ingin, tapi tidak akan bisa terwujud kalau kami jauh-jauhan. Suami di Malang, saya di Jakarta.
Dengan berat hati saya memilih keluarga. Karir ditinggalkan demi ridho suami. Yah, akhirnya balik kandang deh ke Malang. Ya sudahlah.
Di Malang, memang tidak ada production house. Jadi karir menulis saya seolah berhenti. Saya sempat kembali mengajar di bimbingan belajar. Tapi ketertarikan saya masih terpusat di naskah skenario. Untunglah, bos di Jakarta menawarkan kerjasama jarak jauh. Tetap bisa menulis, tanpa harus ke kantor. Lewat email saja sudah bisa. Alhamdulillah. Sejak itu, saya fokus lagi menulis jarak jauh. Tapi ya tidak seintens saat di Jakarta dulu.
Sekarang saya tertarik ke dunia film. Ingin belajar lagi mengenai film. Kalau sebelumnya saya berkecimpung di pertelevisian, maka sekarang merambah lagi dong. Film pendek. Semoga dimudahkan ya Allah.
Usia sekarang gak muda lagi. Jadi bagi saya gak penting lagi merantau atau tidak. Jadi di Malang atau di luar Malang, tak jadi soal. Asalkan tetap dekat dengan anak-anak.
Nah, itu dia cerita merantau saya yang penuh kenangan. Bisa jadi cerita buat anak cucu saya nanti ketika tua. Kalau cerita teman-teman bagaimana? Seseru ceritaku gak? Berbagi yuk di kolom komentar.
**
2 Comments. Leave new
Tulisan yang menarik kak,mampir ya di https://www.mediapamungkas.com/2020/12/perantau-berliterasi.html
Kebetulan mengenai anak rantau juga
siap. terima kasih ya sudah berkunjung. aku berkunjung balik.