“Ma, adik mau baca buku. Belikan buku ma.”
Anak perempuan saya yang masih TK B merengek minta dibelikan buku bacaan dongeng untuk dikumpulkan di sekolahnya. Tepatnya dimasukkan ke kotak literasi yang disediakan paguyuban untuk menaruh buku dongeng para siswanya. Dari buku tersebut, bu guru akan memilih satu buku cerita secara acak dan dibacakan di depan anak-anak.
Setiap anak diwajibkan membawa satu buku cerita. Buku ini tidak diberikan ke sekolah, tapi statusnya hanya dipinjam. Setelah seluruh buku cerita mendapat jatah untuk dibacakan di depan anak-anak, maka buku-buku cerita tersebut akan dikembalikan ke anak-anak.
Sebagai orang tua murid, saya tentu saja senang dengan metode kotak literasi yang sudah dipraktekkan di sekolah TK anak kedua saya ini. Sisi positifnya, anak saya jadi suka membaca meskipun belum terlalu lancar bacanya. Setidaknya minat bacanya sudah tinggi karena sekolah memberikan stimulus dengan buku bacaan dan juga gaya bercerita bu guru yang menyenangkan.
Di rumah pun, anak saya suka menyodorkan buku ceritanya agar saya membacakannya di depan anak saya. Plus dengan gerakan tangan dan gaya bercerita yang dipraktekkannya di depan saya. Maunya dia, saya membacakan cerita untuk anak saya seperti gaya bu gurunya di sekolah. Haduh nak, mana bisa mama mendongeng selincah bu guru. Ironisnya, kalau gaya bercerita saya tidak sama dengan gaya bercerita gurunya di sekolah, anak saya langsung ngambek. Halah dalah.
Daftar Isi
Minat Baca Anak Indonesia Kini Semakin Bertambah
Sebagai orang tua dari dua anak yang kini menempuh pendidikan TK dan SD, saya tentu memperhatikan pendidikan yang diperoleh anak saya di sekolah. Sebagai rumah kedua bagi anak-anak, sekolah juga mempunyai peran penting dalam membentuk karakter anak sejak dini.
Perhatian saya tak luput dari peran saya yang dulunya juga pernah mengajar les di bimbingan belajar. Jauh sebelum saya menikah dan tetap berlanjut sampai saya mengandung anak kedua. Saya resmi resign dari pengajar bimbingan belajar setelah anak kedua saya lahir. Saya tak ingin melewatkan perkembangan anak-anak saya dengan sibuk bekerja di luar rumah.
Alhamdulillah saya merasa sudah cukup berkarir dengan bekerja kantoran sebagai karyawan dan juga pengajar. Sekarang saya ingin membersamai anak saya di rumah dengan tetap memperhatikan pendidikannya di luar rumah. Toh saya tetap bisa menghasilkan cuan meskipun di rumah saja. Itu yang saya syukuri hingga saat ini.
Artinya tugas utama saya sebagai ibu rumah tangga semakin kompleks dengan banyaknya tugas sampingan, terutama tugas untuk memberikan pendidikan yang terbaik untuk anak-anak. Selain di rumah, sekolah adalah tempat yang cocok untuk memberikan pengetahuan dan pendidikan terbaik untuk tumbuh kembang mereka.
Sebagai mantan pengajar, saya tentu paham bagaimana kompleksnya pemikiran anak-anak. Ada yang cepat tanggap, ada yang lemah dalam memahami pelajaran sekolah, ada yang jago di mata pelajaran tertentu dan lemah di pelajaran yang lainnya, ada yang rajin mengerjakan soal, ada yang malas-malasan dan harus diteriaki agar mau mengerjakan pe er, dan masih banyak lagi model karakter anak-anak.
Warna-warni karakter anak inilah yang membuat para pendidik dan orang tua murid harus memberikan perhatian ekstra agar tumbuh kembang anak dapat dipantau dengan baik.
Anak yang suka membaca misalnya, biasanya adalah anak-anak yang dengan sukarela mau belajar tanpa harus di oprak oprak. Anak tipe ini sudah mempunyai kesadaran mandiri untuk mencari tahu apa yang ingin diketahuinya. Kemampuan literasinya meningkat seiring dengan rasa ingin tahunya yang semakin besar.
Sebuah kabar gembira bagi saya ketika indonesiabaik.id mencatat perkembangan minat baca anak Indonesia yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2022 saja, Tingkat Kegemaran Membaca (TGM) dari masyarakat Indonesia sudah mencapai 63,9 poin atau meningkat 7,4% dari tahun sebelumnya.
Presentasi ini didapatkan dari hasil survey yang dilakukan oleh Perpusnas terhadap sekitar 11.158 responden yang tersebar di 102 kabupaten atau kota di Indonesia. Aspek penilaiannya didasarkan pada frekuensi membaca per minggu sampai banyaknya durasi untuk mengakses internet dalam pencarian sumber bacaan. Artinya ada peran teknologi yang mendukung gerakan literasi anak.
Dari hasil survey tersebut, diketahui masyarakat Indonesia menghabiskan waktu untuk membaca rata-rata adalah selama 1 jam 37,8 menit per harinya, atau 9 jam 56 menit per minggunya. Frekuensi membaca rata-rata 5 kali per minggu dengan 5 sumber bacaan setiap tiga bulan sekali pada tahun 2022. Lumayan kan. Jika literasi terus dikembangkan, tidak menutup kemungkinan angka-angka tersebut bisa bertambah seiring meningkatnya literasi anak-anak dan orang dewasa.
Masih dari hasil survey yang sama, didapatkan angka peningkatan Kegemaran Membaca masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun. Jika pada tahun 2017, angka kegemaran membacanya berada di 36,48 poin, maka tahun 2018 angkanya naik di 52,92 poin dan 53,49 di tahun 2019. Poin semakin naik pada tahun 2020 dengan angka 55,74 poin dan 59,52 di tahun 2021 hingga akhirnya poinnya meningkat tinggi menjadi 63,90 poin di tahun 2022.
Dengan banyaknya gerakan literasi yang saat ini banyak dikembangkan di lingkungan masyarakat Indonesia, rasanya tak mustahil jika poin kegemaran membaca terus meningkat di tahun-tahun yang akan datang. Angin segar kan bagi perkembangan literasi di Indonesia. Termasuk literasi anak-anak yang saat ini membutuhkan perhatian lebih banyak mengingat rasa ingin tahu anak meningkat seiring bertambahnya usia.
Literasi Anak Tumbuhkan Karakter Anak Mandiri Sejak Dini
Sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan literasi itu. Terutama literasi anak-anak yang konon katanya dapat membentuk karakter anak menjadi pribadi yang lebih baik dan mandiri di masa depan.
Ada banyak sumber yang mengartikan makna literasi secara kontekstual. Seperti UNESCO yang memaknai literasi sebagai seperangkat keterampilan nyata terutama membaca dan menulis yang terlepas dari konteks siapa yang memperoleh keterampilan tersebut dan dari mana keterampilan tersebut diperoleh.
Sementara itu National Institute for Literacy mengartikan literasi sebagai kemampuan individu dalam membaca, menulis, berbicara, berhitung serta memecahkan suatu masalah sehingga berpengaruh pada tingkat keahlian yang diperlukan saat berada di dalam suatu pekerjaan, keluarga maupun lingkungan masyarakat. Jauh lebih kompleks kan pengertiannya.
Intinya literasi tidak hanya sekadar menilai kemampuan membaca dan menulis saja. Seiring perkembangan zaman, literasi pun mengalami perkembangan pemahaman menjadi lebih luas, yaitu tingkat pemahaman dari apa yang sudah dibaca, menganalisa serta menggunakan informasi yang diperoleh secara efektif, sehingga diperoleh problem solving yang tepat dari tingkat pemahaman yang didapat.
Sebagai contoh yaitu kotak literasi di sekolah anak saya yang masih TK tadi. Dari dalam kotak literasi tersebut, anak-anak diajari untuk dapat memahami cerita yang dibacakan oleh bu guru di depan kelas. Selain itu dari sumber bacaan anak-anak yang kebanyakan diambil dari cerita fabel dan dongeng tersebut, bu guru akan memberikan pesan tersirat agar anak-anak dapat menangkapnya dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Lihat saja cerita tentang Lebah dan Semut milik salah satu teman anak saya ini. Alia, nama anak perempuan saya sengaja membawanya pulang ke rumah untuk diberikan kepada saya. Maksudnya agar saya bisa membacakannya seperti gaya bercerita bu guru kepadanya. Waduh susah nih.
Karena saya bukan guru TK dan tidak pandai bergaya di depan anak-anak, apalagi mendongeng, maka saya membaca seluruh isi buku sampai selesai terlebih dulu. Setelah tahu isinya, saya pun mulai membacanya dengan gaya bahasa saya sendiri di depan anak saya. Ya maaf ya nak jika tidak sama dengan gaya bu guru di sekolah yang lucu. Hehe.
Intinya cerita Lebah dan Semut ini menceritakan tentang perlombaan yang dilakukan oleh lebah dan semut dalam mencari sarang madu. Perlombaan tersebut muncul dari usulan licik lebah yang memiliki keinginan untuk menguasai tepi sungai dan mengusir kawanan semut dari daerahnya.
Rupanya semut juga berpikiran sama dengan Lebah. Sama-sama ingin menguasai tempat itu dan mengusir lebah dari sana. Semut pun akhirnya berbuat curang agar menang, karena sesuai kesepakatan, siapa yang kalah harus pergi dari sana dan tidak boleh kembali.
Setelah mengatur siasat licik, semut mengerahkan pasukannya untuk mencari sarang madu terlebih dulu. Lebah awalnya tak tahu jika sudah dicurangi oleh semut. Tapi setelah mengetahuinya, lebah jadi marah dan kecewa. Ini kan lomba satu lawan satu. Kenapa semut malah mengerahkan banyak kawannya. Curang dong.
Lebah yang marah pun membalas perlakuan semut dengan membawa pasukannya untuk menghancurkan sarang semut. Melihat perbuatannya diketahui si lebah, semut pun mengaku salah dan meminta maaf. Lebah akhirnya juga meminta maaf karena sudah merusak rumah semut. Keduanya saling meminta maaf dan tetap bersahabat sampai sekarang. Happy ending kan.
Dari cerita fabel tersebut, anak tidak hanya diajari untuk membaca kata per kata, atau menulis huruf per huruf. Tapi juga diajari untuk memahami isi cerita. Bahwa niat yang buruk hanya akan membawa petaka. Apalagi jika dibarengi dengan perbuatan curang hanya karena ingin menang. Makanya semut dan lebah jadi marah dan kecewa. Untunglah mereka sadar dan meminta maaf.
Dari cerita tersebut, anak-anak diajari untuk meminta maaf jika berbuat salah. Anak yang dimintai maaf juga harus memaafkan, sehingga bisa kembali hidup rukun. Gak boleh egois.
Anak saya suka dengan cerita model fabel seperti ini. Selain pesan moralnya mengena, buku ceritanya juga disertai gambar lucu lebah dan semut. Anak-anak pasti suka melihatnya. Efeknya adalah sikap anak saya yang jadi pemaaf.
Anak saya juga selalu meminta maaf jika melakukan kesalahan dan mudah memaafkan ketika ada temannya yang berbuat salah. Ketika saya tak sadar memarahinya dan akhirnya saya meminta maaf pun, dengan lugunya anak saya langsung memaafkan dan memeluk saya. Manisnya.
Karakter pemaaf yang terbentuk dari sikap anak saya tak lepas dari peran sekolah yang memberikan nilai edukasi positif melalui buku cerita bergambar yang dibacakan di depan anak-anak.
Begitu juga dengan perilaku positif yang ditunjukkan ibu guru dan teman-temannya di sekolah yang baik, akan membentuk pribadi anak menjadi pribadi yang baik pula. Bukankah anak-anak adalah peniru yang baik. Jika lingkungannya baik, maka anak bisa menjadi pribadi yang baik. Begitu pula sebaliknya.
Peran Teknologi dalam Mengembangkan Literasi Anak Sejak Dini
Berapa banyak anak-anak yang saat ini sudah bisa memegang hp. Saya saja baru mengenal hp ketika kuliah semester akhir. Sementara sekarang, anak lahir sudah melek teknologi. Bayi bayi dan balita sudah banyak yang sudah diberi hp.
Fakta ini tidak bisa dipungkiri sih, mengingat anak anak generasi z dan generasi alpha memang lahir di tengah gencarnya teknologi merambah negeri. Rasanya hampir mustahil jika kita menemui anak kecil yang tidak memegang hp, sementara orang tuanya tak bisa lepas dari gadget yang kini beralih fungsi dari kebutuhan primer ini.
Saya pun demikian. Pekerjaan saya berkutat pada handphone dan laptop. Anak saya pasti melihat saya menggunakan kedua gadget tersebut, sehingga anak-anak juga ingin merasakan bagaimana memegang barang elektronik yang saya gunakan.
Selama memberikan dampak positif, saya tidak melarang anak-anak menggunakan handphone. Seperti yang dilakukan kedua anak saya. Melihat youtube untuk menonton channel luar negeri tentang permainan games.
Tayangan youtube yang ditonton anak saya dibawakan oleh orang luar negeri yang menggunakan bahasa Inggris bernama Sandi. Ada juga Jason and Adam yang membawakan acara dengan kocak dan menghibur. Saya cukup kaget ketika mengetahui anak-anak saya tiba-tiba bisa meniru ucapan mereka dalam Bahasa Inggris.
Belum fasih benar sih, tapi beberapa kata sudah bisa diucapkan anak-anak saya. Seperti angka satu sampai seratus dalam Bahasa Inggris, atau penyebutan warna dalam Bahasa Inggris. Beberapa kosa kata Bahasa Inggris juga diucapkan anak-anak sesuai dengan yang mereka dengar. Hal ini tentu saja membantu pemahaman mereka saat ada kelas Bahasa Inggris di sekolah.
Jika teman-teman anak saya belum bisa menyebutkan angka satu sampai seratus dalam bahasa inggris, anak saya sudah bisa. Begitu juga dengan penyebutan warna green, red, blue, yellow dan lain-lain. Teknologi internet ada sisi positifnya juga kan. Anak-anak belum saya leskan Bahasa Inggris, tapi sudah mendapat pelajaran Bahasa Inggris gratis langsung dari youtube.
Selain Bahasa Inggris, anak saya juga mendapatkan banyak pelajaran dari youtube, salah satunya yaitu menggambar. Saya kaget ketika melihat anak perempuan saya tiba-tiba mahir menggambar pemandangan, atau menggambar baju, rumah, mobil, dan benda-benda lainnya. Katanya adik belajar dari youtube.
Adik juga senang mewarnai dan sekarang belajar gradasi warna menggunakan crayon. Memang diajari di sekolah sih mengenai gradasi menggunakan krayon ini. Tapi di rumah, anak saya memperdalam ilmu mewarnainya melalui internet. Good job.
Apakah sudah cukup memberikan anak-anak buku bacaan dan internet untuk mengembangkan literasinya. Kalau saya sih belum ya. Saya perlu mengenalkan secara langsung kepada anak-anak saya mengenai apa yang dipelajarinya dari bacaan dan internet yang mereka lihat. Bagaimanapun juga praktek langsung di lapangan itu lebih mengena dan tepat sasaran.
Melihat Lebih Dekat Agar Empati Lebih Melekat
Bagaimana sih agar anak lebih peduli lingkungan dengan kesadaran membuat sampah pada tempatnya. Atau anak mau berbagi kue dengan temannya yang kurang beruntung karena tidak bisa jajan sesukanya seperti anak kita. Tinggal minta ayah ibunya yang pasti bakalan dikasih.
Saya bersyukur ketika salah satu wali murid di sekolah anak saya yang SD bercerita tentang anak saya yang suka berbagi kue di sekolah. Attha itu tidak pelit. Kalau lihat temannya tidak bawa kue, pasti dikasih sama Attha. Begitu kata salah satu wali murid yang akrab dengan saya. Alhamdulillah.
Alia, anak kedua saya juga punya empati yang sama terhadap temannya. Memberikan bekal kuenya kepada temannya yang tidak membawa kue ke sekolah. Bukan hanya itu, ketika melihat ada pengamen yang datang ke rumah, anak – anak selalu minta uang untuk diberikan kepada pengamen itu. Empatinya terbentuk.
Saya juga pernah mengajak anak-anak ke acara bagi-bagi takjil saat bulan Ramadhan bersama teman-teman komunitas blogger di kota Malang. Alhamdulillah anak-anak suka dan ikut membagikan makanan ke pejalan kaki yang lewat.
Belum lama ini, saya juga mengajak anak saya ke salah satu panti asuhan di Kota Malang dalam rangka Maulid Nabi Muhammad bersama para guru di sekolahnya, korlas dan komite sekolah.
Di sana, anak saya bertemu langsung dengan para penghuni panti yang rata-rata tidak punya orang tua. Guru agama anak saya memberikan pengertian kepada anak-anak yang ikut ke panti, bahwa mereka termasuk beruntung karena memiliki orang tua yang lengkap, bisa meminta uang untuk jajan dan bayar uang sekolah. Sementara anak-anak panti tidak bisa karena sudah tidak punya orang tua lagi.
Saya bersyukur melihat empati anak saya mulai tumbuh. Sejak pulang dari panti asuhan, anak saya jadi lebih bisa mengontrol diri untuk tidak selalu minta uang untuk jajan. Anak saya bahkan berpikir untuk menabung dan jika punya kue berlebih, pasti dibagi kepada temannya. Konsep berbagi masuk kan ke otaknya.
Dari kejadian ini, saya lebih paham bahwa mengajak anak lebih dekat ke sumber empati, akan membentuk empati anak melekat lebih dalam. Bukan hanya lewat bacaan di buku atau internet pemahaman itu muncul, tapi juga lewat terjun langsung bertemu dengan apa yang sedang mereka pelajari.
Cerdas Tanpa Literasi itu Mustahil
Anak-anak bisa menjadi manusia dengan pribadi terpuji jika karakternya sudah dibentuk dengan baik sejak dini. Cara yang paling tepat adalah dengan mengembangkan literasi anak anak dengan dukungan banyak pihak, terutama keluarga dan sekolah.
Pemanfaatan teknologi dapat menjadi salah satu pendukung positif jika digunakan dengan tepat dan pengawasan yang baik. Peran orang tua, guru dan teman menjadi penting untuk menjangkau sejauh mana karakter anak mengidentifikasi kepribadiannya.
Jika dulu, anak pintar sudah menjadi indikator anak yang unggul dan dihormati karena prestasi akademiknya di sekolah. Tapi sekarang indikator seperti itu tidak mempan lagi. Berapa banyak anak pintar yang ternyata kurang memiliki adab kurang baik.
Saya pernah melihat sebuah berita dimana seorang lulusan dokter yang sedang diwisuda tidak mau dipeluk oleh ibunya sendiri, bahkan tidak mau memandangnya secara langsung. Atau kejadian nyata keluarga dekat saya, dimana anaknya yang juara di sekolah ternyata suka membentak ibunya di rumah. Sang anak mengaku malu karena ibunya miskin sehingga dia sering diejek teman-teman sekolahnya karena tidak bisa melanjutkan kuliah.
Memang sih pada akhirnya si anak kerja dulu selepas lulus SMA, tapi uang hasil kerjanya disimpan sendiri untuk masuk ke perguruan tinggi tahun depan. Si anak juga ikut bimbel dengan uangnya sendiri, tanpa peduli jika ibunya sakit. baginya, yang penting kuliah.
Selama ikut bimbingan belajar, si anak tidak pernah mau membantu ibunya di rumah. Pekerjaannya hanya belajar dan belajar. Bahkan saat ibunya jatuh dari kamar mandi pun, si anak tak peduli. Alhasil, ketika pengumuman masuk perguruan tinggi muncul, si anak gagal masuk kampus favoritnya. Tanpa sadar si ibu menangis karena menyesal pernah kesal dengan sikap si anak dan mendoakan si anak tidak lolos masuk PTN.
Kenapa si ibu harus minta maaf. Bukankah anaknya sudah durhaka padanya? Rupanya semarah-marahnya si ibu, hatinya tetap luluh ketika melihat si anak menangis karena gagal kuliah. Si ibu pun mendoakan yang baik-baik lagi untuk anaknya. Hingga si anak bisa kuliah tapi di kampus lain dan lewat jalur mandiri.
Apakah si anak jadi lebih baik perbuatannya kepada si ibu? Oh ternyata tidak. Si ibu yang sudah jadi janda karena suaminya sudah meninggal, mengatakan bahwa ibu tidak bisa membiayai kuliah anaknya. Bukannya sedih, si anak terus menyalahkan ibunya dan akhirnya mencari kerja sampingan sendiri.
Kabar baiknya, si anak sukses menjadi mahasiswa berprestasi di kampusnya dan bisa mencari uang sendiri dengan kepintarannya. Bahkan sekarang sudah bekerja di Jakarta dan menikah dengan teman kampusnya yang lulusan S2. Lalu bagaimana sikapnya terhadap si ibu?
Miris rasanya ketika melihat si anak menganggap bahwa kesuksesan yang diraihnya adalah karena usahanya sendiri. Ibunya tidak pernah mendukungnya kuliah dan tidak memberinya dana untuk kuliah. Si anak merasa mencari uang sendiri dan jatuh bangun sendiri untuk menjadi sesukses sekarang. Makanya sikapnya tetap sinis dan cuek kepada si ibu.
Anaknya memang pintar dan cerdas, tapi karakternya kurang baik. Celah seperti inilah yang sepertinya ingin disikapi dari pengembangan literasi zaman sekarang.
Jangan sampai deh ada lagi anak yang merasa sukses karena kerja banting tulang sendiri. Ingat ada doa orang tua dibalik kesuksesan yang diraih anak. Literasi anak yang baik, tidak hanya menjadikan anak pintar dan cerdas, tapi juga berkarakter baik dan terpuji.
Jika di lingkungan sekolah, pembentukan karakter tersebut ada di kurikulum merdeka belajar dengan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila atau disingkat P5.
Melalui P5 ini, siswa diajak untuk mengenal lebih dekat pelajaran yang ingin dipahami melalui pendekatan proyek. Jadi anak bukan hanya dituntut untuk dapat membaca dan menulis, tapi juga menganalisa, berbagi tugas, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis dan kreatif. Empatinya juga dibentuk, sehingga kepribadian anak dibentuk dengan baik.
Makanya cerdas tanpa literasi itu sekarang rasanya mustahil. Literasi yang baik membentuk kepribadian anak menjadi mandiri, kreatif dan terpuji.
Kesimpulan
Literasi anak itu penting. Apalagi masa anak-anak adalah masa emas dimana rasa ingin tahu anak tumbuh paling tinggi. Rasa ingin tahu inilah yang harus diarahkan dengan baik oleh para orang tua dan pendidik di lingkungan sekolah, agar anak dapat terarah dengan baik.
Pemanfaatan teknologi dengan baik nyatanya dapat mendukung perkembangan literasi anak dengan baik pula. Tentunya dengan pengawasan orang tua yang bijak. Bimbinglah anak dengan baik agar anak dapat menemukan karakter terpuji yang sejatinya ada dalam dirinya.
Ingat, menjadi pintar saja itu belum cukup. Perlu pribadi yang baik untuk menjadi manusia cerdas dan unggul. Setuju ya.
**
Referensi :
https://ditpsd.kemdikbud.go.id/hal/profil-pelajar-pancasila
20 Comments. Leave new
Setuju sekali Mbak. Literasi itu sangat penting, dan bsia didapat dengan banyak membaca. hanya zaman now, peran orang tua sangat penting dalam mengajak anak semangat membaca, agar jangan sampai terkalahkan oleh gadget. Dan saya paling senang kalau anak suka membaca. Apalagi sekarang dimudahkan untuk membaca buku. selain buku fisik, bisa juga buku digital dari aplikasi bahkan perpustakaan nasional.
Semoga ke depan, tingkat literasi anak Indonesia semakin meningkat lagi ya Kak. Karena ternyata, literasi itu tidak cuma bikin anak pintar dan berwawasan luas, tapi juga bisa membantu anak memiliki empati dan budi pekerti yang baik. Di mana, di era seperti sekarang, dua karakter tersebut sangat dibutuhkan.
Sepakat kak, menumbuhkan semangat untuk membaca itu penting, walaupun mereka belum bisa baca, perlahan anak-anak akan suka membaca, perlahan tapi pasti anak akan bisa membaca, hal ini penting untuk masa depannya kelak agar anak menjadi pembelajar mandiri
karena kecerdasan juga bagian dari bagaimana literasi itu bisa menempel kuat ya kak.
maka literasi dari sejak kanak-kanak perlu ditumbuhkan kuat
Punya keponakan yg meskipun memang mahir pakai gadget masih suka baca buku apalagi yg ada gambarnya. Sering baca buku bisa bikin anak-anak makin antusias dengan dunia luar dan mengasah empati juga
Secara tidak langsung orang tua juga punya peran penting sebagai pendamping dalam meningkatkan literasi pada anak ya kalau saya tangkap dari tulisan mba. Sebab bagaimanapun juga rumah adalah sekolah pertama anak
Membac a memang salah satu yang harus dibiasakan semenjak dini, karena kita tahu sendiri generasi jaman sekarng sudah terlalu manja dengan yang namanya buku. Sekarang mereka lebih tertarik ke video. Tapi jika dicicil sejak dini, maka literasi membaca anak anak akan mulai lagi meningkat
karena buku adalah jendela dunia, dengan literasi membaca sejak dini membuat anak jadi lebih cerdas karena makin banyak mengetahui banyak hal. Ini jadi bekal baik bagi anak dimasa akan datang
Bener banget, apalagi sekarang paparan sosmed bikin anak2 males baca. Apalagi ngembangin budaya ini, jadi kalo ngga dimulai sejak kecil ya akan susaaahh
Setuju mbak. Cerdas itu juga harus diimbangi dengan literasi yang baik. Tak lupa juga soal karakter anak. Miris akutuh tiap kali lihat berita tentang anak2 yg dibuli bahkan sampai ada yg cedera. Salah satu cara menangkal buliying ya dengan penanaman literasi yg baik
Bener jg ya kak. Literasi hrs mulai ditumbuhkan sejak dini. Kalo bs emg ortunya jg hrs rajin membaca jg sih. Jd habit ortu akan menular ke anak. Jgn sampe anak dikasih gadget mulu. Ya ada baiknya sih. Tp kl berlebihan main gadgetnya kan jd masalah ntr.
Peningkatan literasi itu penting ya mbak. Dan ada teknologi yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan literasi anak
mengembangkan literasi anak sejak dini memang sangat penting sekali saat ini. mengingat sekarang anak lebih banyak kecanduan gadget daripada gemar membaca
nah harus dikenalkan sama buku nih sejak dini biar anak anak suka baca sejak kecil
Anak² memang lebih senang ketika kita ekspresif yah, Mbak. Kek anakku kalo minta dibacain buku ya kudu pake gerakan, haha..
Zaman teknologi gini mau nggak mau harus ngikutin. Di sini nih peran orang tua dan guru bener² diuji supaya bisa mengarahkan ke hal² positif untuk anak.
Bener. masalahnya emaknya ini gak gak bisa ekspresif. maunya didongengin kayak bu gurunya di sekolah. mana bisa Aminah. pinteran bu guru, kalau emaknya mah baca standart aja. wkwkwk
Masa-masa anak-anak belajar dari apa yang didengar, dilihat dan melakukan sesuai dengan apa yang dirasakan. Penanaman karakter juga…
Jadi literasi sejak dini memang sangat dianjurkan sekali.
Benar banget karena anak-anak merekam apapun yang dilihat oleh mata dan didengat oleh telinga. jadi pembentukan karakternya akan terbentuk secara alami sejak dini jika diberi literasi yang baik
Alhamdulillah..Senang dengar fakta kalau literasi Indonesia sekarang semakin membaik. Oya, aku juga punya tu kak buka dongeng lebah dan semut. Tapi kayaknya anakku belum bisa dikasih buku itu. Jadi masih dibeliin boardbook aja. Hehe
Mamanya aja yang baca mbak, terus ceritain ke anaknya pakai bahasa dongeng. Anak anak kan suka kalau didengerin cerita. gak harus baca. anakku juga begitu. Masalahnya aku gak bisa mendongeng. wkwkwkw