“Ngomong dong pa. Jangan diam saja. Aku ini istrimu. Bukan patung yang bisa kamu diamkan sepanjang waktu!”
Jujur, darahku terasa deras mengalir ketika aku didiamkan begitu lama oleh orang yang paling aku sayang. Otakku rasanya penuh, stress menghadapi mulut yang selalu terkunci rapat di depan mataku itu. Kepala yang selalu menunduk itu tidak membuatku merasa di atas angin.
Aku bukan istri yang menguasai suaminya. Jadi berhentilah bersikap seolah kamu suami yang takut istri.
Berkali-kali aku mengatakan kalimat itu kepada suamiku. Tapi entah didengarnya atau tidak, sikapnya tak pernah berubah. Duduk terpaku di sofa dengan kepala tertunduk dan tangan terlipat ke depan. Persis seperti anak kecil yang sedang dimarahi ibunya. Padahal aku tidak sedang memarahainya. Aku hanya ingin kita saling bicara.
Sulitkah merangkai kata dari mulut yang susah terbuka itu. Apa pita suaramu sudah putus hingga tak terdengar kata yang tertangkap indra pendengaranku?
Satu hal yang paling aku benci dari sikap diam seribu bahasa suamiku adalah anggapan orang lain tentang diriku. Aku yang semula pendiam dan jarang bergaul, sekarang jadi lebih banyak bicara. Orang lain jadi mengira aku ini istri yang bawel dan suka memarahi suaminya. Kalau bahasa sinetron, aku ini istri yang jahat sama suaminya. Hiks
Padahal aku termasuk orang yang cinta damai dan menghindari pertengkaran. Sebelum menikah, aku dikenal sebagai sosok pendiam dan suka mengalah. Tapi gara-gara menghadapi sikap suamiku yang diamnya keterlaluan, aku jadi lebih sering angkat suara. Bahkan tak jarang tanpa aku sadari nada suaraku meninggi.
Aku pikir selama ini aku seorang introvert yang lebih suka dengan kesunyian. Tapi ternyata suamiku lebih introvert. Malah lebih parah.
Diam itu Tak Selamanya jadi Emas
Pernah mendengar pepatah yang mengatakan bahwa diam itu emas. Faktanya tidak semua diam itu emas. Peribahasa itu ditujukan untuk kasus tertentu yang memang ditujukan untuk menghindari kemudharatan.
Diam itu emas jika diamnya itu untuk menghindari membicarakan orang lain atau menghindari berbicara sia-sia dan berbau maksimat. Misalnya ketika diajak teman untuk berghibah.
Nah daripada ikut ngomongin orang yang kita tahu itu dosa. Lebih baik menghindar dan diam. Gak usah ikut-ikutan. Atau diam karena menahan emosi agar tidak keluar kata-kata mengumpat.
Kalau masalahnya seperti ini, jangan lupa langsung istighfar ya. Biar gak keluar kata-kata kotor dari mulut kita. Naudzubillahi mindzalik.
Lalu bagaimana dengan diamnya seorang suami tanpa tahu apa sebabnya. Sumpah diam yang seperti bikin kesel gak sih. Bahkan diamnya pasangan yang dikenal dengan istilah silent treatment ini katanya bisa lebih kejam dari perselingkuhan.
Aku bisa ngerasain sih karena aku korban dari silent treatment. Sumpah rasanya menyiksa sekali. Lebih baik aku dimaki-maki dengan suara keras daripada didiamkan seribu bahasa selama berhari-hari.
Penyebab Silent Treatment
Aku gak tahu kenapa suamiku punya sifat yang sangat pendiam. Kalau pendiamnya wajar sih tak masalah. Tapi kalau setiap kali ada masalah selalu berakhir dengan diam, itu namanya keterlaluan.
Bayangkan ketika ada masalah keuangan misalnya. Anak masuk sekolah dan butuh biaya. Jauh-jauh hari, suamiku sebenarnya sudah menyiapkan dana untuk sekolah anak. Tapi karena ada sesuatu, uang yang seharusnya dipakai untuk dana masuk sekolah anak itu kepake. Akhirnya dana sekolah jadi kosong.
Aku pengennya sih, ada pembicaraan tentang masalah keuangan ini. Misal suami bilang kalau dana untuk pendidikan anak sedang tidak ada. Bagaimana enaknya. Yuk kita rembukan. Apa perlu pekerjaan tambahan untuk menutupi biaya sekolah anak yang sudah terpakai. Atau ngomong apa kek. Rembukan. Diskusi. Saling bertukar pikiran.
Faktanya suamiku diam. Aku yang kebingungan mencari jalan keluarnya. Untunglah aku mendapat pemasukan dari pekerjaanku sebagai blogger dan influencer. Alhamdulillahnya lagi, pemasukanku itu dapat menutupi biaya sekolah anakku.
Apakah masalah selesai? Oh tidak ferguso. Tidak semudah itu.
Aku berharap sih suamiku bertanya darimana aku mendapatkan uang untuk biaya sekolah anak. Atau dia minta maaf karena dia sudah memakai tabungan sekolah anak dan belum bisa mengembalikan. Atau sekedar basa basi bilang terima kasih karena sudah membantunya membayar biaya sekolah anak.
Faktanya dia diam. Tak ada pertanyaan. Tak ada kata terima kasih atau permintaan maaf. Meskipun aku sebenarnya tidak membutuhkan ucapan terima kasih dan permintaan maaf itu, tapi jika kata itu diucapkan oleh suamiku. Rasanya bisa beda. Aku merasa dihargai dan dimanusiakan. Bukan dianggap patung yang tak pantas untuk diajak bicara.
Itu baru satu masalah. Belum masalah lain yang membutuhkan diskusi antara pasangan. Masalah ibu mertua yang mendadak sakit misalnya.
Tanpa kabar dan tanpa pamitan, suamiku tidak langsung pulang ke rumah setelah dia selesai bekerja. Tapi langsung ke rumah ibunya. Aku yang ada di rumah tentu saja khawatir.
Kalau hanya satu atau dua jam sih tak masalah. Tapi kalau setiap hari dan bahkan sampai menginap beberapa hari bagaimana? Aku jadi punya pikiran buruk loh sama suamiku.
Jangan-jangan suamiku punya selingkuhan dan saat ini sedang berduaan dengan perempuan lain. Atau jangan-jangan suamiku kecelakaan dan tidak ada orang yang bisa memberikan kabar padaku.
Aaaaaahhh, stress gak sih menghadapi orang yang silent treatment banget. Aku harus mengintrogasinya dengan nada suara agak tinggi hanya untuk mengetahui kemana sebenarnya dia pergi.
“Ibu sakit. Aku harus merawatnya dan mengantarnya bolak balik ke rumah sakit.”
Ya Allah gusti. Apa selama ini aku pernah melarangnya pergi ke rumah ibu. Kalau pamit, aku bahkan akan dengan senang hati menjaga ibu dan ikut merawatnya. Kenapa semua masalah harus dipendam sendiri sih.
Sumpah, aku jadi berpikiran buruk tentang diriku sendiri. Apakah aku pantas didiamkan seperti itu? Apakah ada sifatku yang buruk di matanya sehingga dia tega mendiamkan aku sampai aku stress tingkat dewa. Dimana letak salahku?
Stres gak sih jika dia juga tidak bisa menjawab pertanyaanku yang sederhana itu? Dimana letak salahku? Aku butuh jawaban. Bukan diam tanpa kata. Tapi suamiku tidak bisa menjawab dan ujung-ujungnya hanya diam. Sebel sebel sebel.
Aku jadi bertanya-tanya. Orang yang suka melakukan silent treatment kepada pasanganya itu penyakit bukan sih? Apa dia tidak tahu jika sikapnya itu bisa membuat kesehatan mental pasangannya terganggu. Aku sampai gak tahu lagi bagaimana menghadapi sikapnya yang super cuek itu.
Silent Treatment Ternyata Bisa Dikendalikan
Aku pernah berkata pada suamiku, jika aku bisa saja membalas sikapnya yang mendiamkan aku dengan balik mendiamkan dirinya. Jadi aku tidak menyambutnya pulang kerja, tidak masak masakan untuknya, tidak mencuci baju kotornya. Pokoknya aku diamkan dia balik. Aku hanya fokus pada anak-anak.
Pikirku, memangnya cuman kamu aja yang bisa mendiamkan aku tanpa alasan. Aku juga bisa.
Awalnya sikapku itu aku anggap bisa jadi solusi agar dia merasa bersalah dan akhirnya mau bicara denganku. Ternyata aku salah guys. Dia bisa loh sampai satu bulan mendiamkan aku dan jadinya kami sepasang suami istri yang saling mendiamkan pasangan.
Apakah hubungan seperti ini dianggap sehat? Jelas saja tidak. Jika tidak diatasi, bisa-bisa buyar rumah tanggaku. Aku gak sanggup dan aku gak mau bicara sama patung.
Aku jadi ingat dengan penuturan seorang direktur Perawatan Kesehatan di American Psychological Association, Vaile Wright yang menjelaskan tentang silent treatment yang dilakukan pasangan sebagai bentuk untuk menghukum atau mengontrol emosi.
Meskipun sikap ini tidak bisa disalahkan, tapi Wright sangat tidak menyarankan silent treatment ini dilakukan oleh pasangan karena hanya akan menyakiti hati.
Setuju sih karena aku merasakan sakit banget didiamkan seperti patung. Aku lebih baik diteriaki dan disalahkan dengan suara lantang daripada didiamkan seribu bahasa. Bukankah diam itu bisa jadi bentuk marah yang paling besar ya dan itu menakutkan bagiku.
Sadar bahwa suamiku tidak mungkin memulai pembicaraan, akhirnya aku yang mengalah dengan mengakhiri sikap diam yang aku tujukan untuk membalas sikapnya. Gak kuat guys.
Tahu gak apa yang akhirnya aku lakukan? Aku ajak dia duduk berdua dan aku turunkan egoku serendah-rendahnya. Aku mulai bicara dari A sampai Z yang intinya hanya satu.
Apa yang harus aku lakukan agar dia mau bicara dan berdiskusi denganku. Karena istri itu temannya hanya satu. Yaitu suaminya. Jika masalah rumah tangga tidak bsia dibicarakan berdua dengan pasangan, kemana lagi istri harus berdiskusi.
Ajaib sih aku bilang ketika suamiku akhirnya mulai memberikan penjelasan. Untuk pertama kalinya dia meminta maaf dan mengatakan jika dia tidak bermaksud untuk menyakiti perasaanku.
Dia hanya tidak bisa mengatakan bagaimana dia berterima kasih kepadaku yang sudah membantunya mengatasi masalah rumah tangga. Dia malu karena tidak bisa menjadi suami yang baik untukku.
“Aku malu sama kamu karena aku gak mampu menafkahi kamu.”
“Kenapa harus malu dan kenapa kamu tidak bertanya darimana aku dapat uang?”
Tau gak apa jawaban suamiku.
Dia menjawab terlalu takut dan tak berhak bertanya karena sebenarnya itu tanggung jawabnya. Tapi dia merasa gagal dan tak punya muka di depanku. Itulah kenapa dia selalu menundukkan kepala di depanku.
Sumpah aku menangis mendengar jawabannya. Kenapa harus malu? Bukankah suami istri itu harus saling melengkapi. Rejeki bisa datang dari suami atau istri.
Jika rejeki suami sedang menurun, bisa jadi Allah memberi rejeki lewat istri. Aku pun bilang tak masalah jika aku juga mengeluarkan uang. Aku ikhlas. Aku hanya butuh komunikasi.
Soal ibu mertua, soal ibuku, adik-adikku atau masalah apapun juga begitu. Jangan apa-apa diputuskan sendiri. Bicarakan dengan pasangan meskipun itu hal yang sangat sepele. Aku minta padanya untuk belajar terbuka. Alhamdulillah suamiku mulai mengerti dan perlahan mulai cerita tentang apapun.
Dari kejadian ini aku belajar bahwa diam itu memang tidak selamanya menjadi emas. Bahkan bisa jadi boomerang yang merusak hubungan suami istri. Maka perbaikilah dengan meningkatkan komunikasi. Udah deh, stop diam-diaman. Gak baik tau.
Ngobrol hal-hal receh seperti ngajak main games pun bisa jadi kebahagiaan tersendiri loh. Jadi jangan remehkan komunikasi.
Ingatlah wahai para suami. Istrimu meninggalkan keluarganya untuk mengabdi padamu. Maka teman terbaiknya adalah dirimu. Karena itulah ajaklah bicara istrimu dan perlakukan dia dengan sangat baik.
Bukankah rejeki suami akan mengalir deras ketika suami bisa membahagiakan istrinya dan bahagia itu bukan melulu soal uang loh. Komunikasi yang baik juga bisa jadi bentuk kebahagiaan bagi istri, sehingga istri bisa selalu mendoakan hal baik untuk suaminya. Gimana para istri? Setuju ya. Setuju dong.
Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI