Saya pernah melihat sebuah postingan di sosial media yang sempat viral. Di dalam postingan tersebut, ada seorang konten creator yang menanggapi komentar nitizen mengenai postingan seorang ibu yang merayakan keberhasilan anaknya menjadi satpam.
Jadi ceritanya banyak komentar julid di sana seperti : jadi satpam saja pakai dirayakan segala. Yang penting pakai seragam ya bu. Atau ada juga komentar yang mengatakan si ibu terlalu lebay karena cuman jadi satpam saja pakai dirayain saja.
Komentar dari konten creator ini cukup mewakili apa yag saya rasakan. Konten creator ini membela postingan si ibu yang merayarakan keberhasilan anaknya jadi satpam dan membalas kejulidan para nitizen.
Katanya jangankan jadi satpam. Anaknya yang bisa BAB setelah 3 hari susah buang air besar saja, si konten creator ini pasti bakalan tepuk tangan. Karena apa yang dilakukan si anak itu adalah sebuah prestasi meskipun hanya perbuatan kecil.
Setuju karena saya pasti akan melakukan hal serupa. Sama seperti anak lanang saya yang akhirnya bisa berbaur dengan temannya. Sebelumnya, anak laki-laki saya sangat pendiam. Jangankan tampil di atas panggung. Berteman dengan orang baru saja susahnya minta ampun.
Jadi misal di sekolah barunya, ada banyak teman baru yang bisa saling sapa dan kenalan. Jika tidak ada yang menyapa anak saya duluan, anak saya pasti hanya diam di pojokan sambil melihat banyak teman-teman barunya bermain. Atau ngumpet di belakang punggung saya karena malu saat disapa oleh teman perempuannya.
Makanya ketika saya melihat anak saya ikut kegiatan sekolah marching band dan melihatnya tampil di atas panggung, itu adalah prestasi luar biasa anak saya. Coba kalau naik panggung sendirian. Gak bakal berani. Kalau ramai – ramai pasti berani karena ada teman akrabnya di sana.
Setiap Momet Berharga si Kecil Perlu Mendapat Apresiasi
Bagi sebagian besar orang. Berteman adalah hal yang biasa dan sangat mudah dilakukan. Tapi tidak dengan anak saya. Mungkin karena anak saya mewarisi sifat introvert saya dulu, makanya anak laki-laki saya tumbuh menjadi anak yang pendiam dan sangat pemilih.
Berbeda dengan anak kedua saya yang berjenis kelamin perempuan. Anak perempuan saya lebih mudah bergaul dan ekstrovert. Tapi dia lebih mudah tersinggung dan cepat sekali meminta maaf. Cinta damai.
Anak perempuan saja lebih berani mengungkapkan apa yang dia inginkan termasuk meminta pujian dari saya. Misal ketika anak saya bisa cuci tangan sendiri, atau bisa pipis sendiri dan bisa pakai kaos kaki sendiri. Langkah kecilnya itu akan sangat berarti baginya ketika saya memberikan apresiasi berupa pujian atau tepuk tangan.
Saya juga memberikan apresiasi kepada anak laki-laki saya yang pada akhirnya bisa berteman dengan teman seangkatannya. Bahkan bisa berbaur dan akhirnya punya sahabat karib. Padahal sebelumnya, anak saya sulit bergaul. Itu sudah sebuah prestasi bagi saya.
Jadi prestasi itu bukan hanya soal rangking atau nilai. Kemajuan yang dialami anak-anak juga sebuah prestasi yang patut mendapatkan apresiasi dari orangtuanya.
Percaya atau tidak, apresiasi sekecil apapun yang diberikan oleh orang tua, akan berdampak pada meningkatnya perilaku positif anak. Seperti yang diungkapkan oleh seorang psikolog dari klikdokter, Ikhsan Bella Persada, M.Psi yang mengatakan jika apresiasi pada hal baik yang dilakukan anak dapat mendorong anak melakukan hal baik secara berulang sekaligus menghindari perilaku negatif.
Misalnya seperti anak perempuan saya yang suka sekali sholat jamaah. Ketika saya memujinya karena suka sholat tanpa perlu diperintah, ternyata anak saya senang melakukannya dan akhirnya tak pernah absen untuk sholat. Bahkan sering mengajak saya sholat duluan.
Hal yang sama juga terjadi ketika anak saya mau membantu saya menyapu lantai. Saat saya berterima kasih kepadanya dan memberikan pujian, anak saya jadi suka membantu saya melakukan pekerjaan rumah tangga. Bahkan menawari saya untuk membantu pekerjaan yang lain, seperti mencuci piring, mencuci baju bahkan memasak.
Tapi saya melihat porsi bantuan anak saya. Kalau memang belum bisa, saya akan mengarahkannya untuk membantu hal-hal kecil yang tidak berbahaya. Seperti saat memasak, saya belum mengijinkannya ikut memasak di dekat kompor karena bahaya.
Jadi saya mengarahkan anak saya untuk ikut memilihkan sayur misalnya. Begitu juga saat mencuci baju. Saya lebih mengarahkannya untuk mengambilkan hanger baju dan itu sudah membuatnya sangat senang.
Melihat kebahagiaan di wajah anak saya adalah kesenangan yang tak ternilai bagi saya. Apalagi ketika apresiasi sekecil apapun yang saya berikan kepada anak saya, terbukti membuat mereka bahagia dan melakukan banyak hal positif tanpa perlu diminta. Ini yang akhirnya saya gunakan untuk menyemangati mereka belajar.
Sebel gak sih jika anak susah disuruh belajar. Saya pernah mengalaminya ketika anak saya ketagihan gadget sehingga selalu susah diajak belajar.
Tapi setelah saya memberikan apresiasi dengan memberikan pujian ketika anak saya mau diajak membaca cerita, anak saya perlahan jadi suka belajar. Begitu juga ketika saya memuji gambarnya yang amburadul dengan kata “bagusnya gambar anak mama.”
Pede banget dong dia dan akhirnya suka menggambar dan mewarnai. Padahal ya mewarnainya corat coret saja. Tapi ketika orang tuanya memberinya pujian atas corat coretnya itu, anak jadi percaya diri dan senang. Rasa senang itu yang membuatnya mau melakukan hal serupa tanpa perlu diminta.
Menjadi Ibu Bahagia itu Mudah
Benar. Bagi saya kebahagiaan terbesar saya adalah melihat anak-anak bahagia dengan banyak senyum dan tertawa. Melihat mereka melakukan sesuatu dengan suka cita sudah menjadi surga dunia yang tak bisa digantikan dengan harta apapun.
Sebaliknya, jika mereka sakit. Rasanya seperti neraka. Saya pernah merasakannya ketika anak saya sakit sampai opname di rumah sakit secara bergantian. Sejak usia 11 bulan, si kakak sudah dirawat di rumah sakit karena kena step. Setiap tahun anak sulung saya selalu ngamar setidaknya selama satu minggu. Hal tersebut berulang setiap tahunnya sampai anak saya usia 6 tahun.
Adiknya juga mengikuti jejak kakaknya sering opname di rumah sakit. Tapi bukan karena step, melainkan demam berdarah. Anehnya, kejadiannya sering hampir bersamaan dengan sang kakak.
Orang tua mana yang tega melihat bayi mereka yang masih di bawah 1 tahun diberikan jarum suntik di tangannya. Anak saya bahkan pernah bengkak di seluruh badannya karena kebanyakan infus. Saat itu usianya masih satu tahunan.
Alhamdulillah masa-masa sedih itu kini sudah berlalu. Sejak anak sulung saya tidak pernah step lagi, anak saya tidak pernah menginap lagi di rumah sakit. Jangan lagi ya dek ya. Sudah cukup nginep di rumah sakitnya. Gak enak tau. Mendingan nginep di hotel sambil liburan. Happy dan bisa tertawa ceria.
Doa saya semoga anak-anak selalu sehat dan bahagia. Karena kebahagiaan mereka adalah kebahagiaan para orang tua seperti saya. Cara membuat anak bahagia menurut saya itu mudah, yaitu dengan memberikan apresiasi terhadap apapun yang mereka lakukan.
Bahkan ketika anak-anak mendapatkan nilai jelek di sekolah. Tetap apresiasi dan dorong semangatnya untuk terus belajar dengan rajin. Dampingi juga ya bund agar anak merasa diperhatikan dan didukung.
“Gak apa-apa hari ini dapat nilai 6. Belajar lagi yang rajin ya biar besok nilainya bisa naik.” Atau
“Dapat 7 ya. Alhamdulillah bagus itu. Kalau belajar lebih giat, pasti nilainya lebih bagus. Good job kakak. Mama temenin belajar yuk.”
Dan masih banyak lagi bentuk kata-kata semangat yang saya berikan kepada anak saya. Intinya jangan sampai mereka down. Marah kepada anak sih boleh, tapi jangan keterusan ya bund.
Kalau saya biasanya nangis setelah memarahi anak. Berasa bersalah dan berdosa. Soalnya mereka itu masih polos. Masih banyak yang belum mereka tahu dan mereka butuh proses untuk tahu sesuatu.
Tugas kitalah sebagai orang tua untuk membimbing mereka dengan sabar dan penuh cinta kasih. Saya yakin kok anak yang masa kecilnya diberikan perhatian dan kasih sayang orang tuanya akan tumbuh menjadi anak yang penyanyang dan juga penuh cinta kasih kepada orang lain. Setuju gak?
Semangat deh buat bunda bunda dan semoga kita semua menjadi ibu yang bahagia karena bisa mendidik anak-anak menjadi anak yang ceria dan bahagia juga.
Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI