“Mama, kakak hp lagi hp lagi. Adik belum banyak ma.”
Alia, anak perempuan saya yang masih berusia 4 tahun 7 bulan per Juli 2021 ini merengek pada saya. Sudah seharian kakaknya main handphone terus. Menonton acara Ryan Toys Review, channel youtube kesukaannya. Atau bermain games yang didownloadnya sendiri di play store.
Saya menegur si kakak, menyuruhnya gantian ketika bermain handphone untuk melihat channel youtube favoritnya. Mas Attha, si kakak merasa terganggu dan langsung cemberut. Handphone diberikan dengan sangat terpaksa, setelah itu mulailah drama rengekan lain dengan alasan tak jelas.
Saya marah, suami juga ikut marah. Perjanjian di awal yang saya buat dengan anak saya adalah boleh melihat youtube, asalkan gantian dengan si adik dan waktunya terbatas. Tidak boleh seharian. Tapi si kakak sering melanggarnya dengan alasan bosan di rumah.
Saya memahaminya, anak laki-laki saya yang usianya 7 tahun 6 bulan memang termasuk anak yang mudah bosan. Kalau sudah begitu, segala macam drama pasti dibuatnya. Makan rewel, minta sesuatu yang tidak ada seperti tiba-tiba ingin donat padahal di rumah tak ada donat. Kalau tidak dituruti, marah dia. Atau bicara tak jelas sepanjang waktu sambil bilang “Attha bosan ma”.
Sumpah, saya sempat stress menghadapi sifat anak pertama saya yang moody. Berbeda dengan adiknya yang cenderung bisa beradaptasi dan selalu ceria. Ketika melihat kakaknya diperbolehkan mainan hp, adik hanya merengek sebentar ke saya. Lalu bisa saya alihkan ke permainan lainnya seperti menggambar atau membaca buku. Setelah itu, adik tidak merengek lagi.
Berbeda jika kakaknya yang melihat adik mainan hp. Baru memegang hp beberapa menit saja, kakak sudah rewel dengan berkata tak jelas sepanjang menit itu, lalu menangis tanpa alasan yang bisa saya artikan sebagai iri dan ingin hpnya diberikan kepada sang kakak.
Suami saya harus membentaknya agar si kakak tidak ngambek dan marah sama si adik. Tapi setelah itu, suami atau saya akan memeluknya sampai tangisnya berhenti.
Daftar Isi
Salahkah Memberikan Gadget pada Anak ?
Pemikiran tentang salah benarnya saya memberikan gadget pada anak-anak, sempat singgah di otak saya. Banyak pemberitaan yang menyebutkan gadget tidak baik untuk perkembangan anak-anak.
Pendapat saya ini bukannya tanpa bukti. Sebuah penelitian berbasis praktik yang dilakukan di Toronto tahun 2011 dan 2015 dengan target anak-anak, menyebutkan jika ada 20% orang tua yang memberikan gadget pada anaknya selama 28 menit. Jika waktu pemakaian gadget ini diperbanyak, pernyataan yang dilansir dari ibupedia.com ini akan menambah kemunginan anak mengalami speech delay atau keterlambatan bicara.
Hasil penelitian tersebut diperkuat oleh pengakuan seorang Psikolog dari Tiga Generasi, Annelia Sari Sani, M.Psi yang menyebutkan bahwa penyebab speech delay sebagian besar adalah karena penggunaan gadget yang terlalu lama, sehingga menghambat kemampuan anak dalam mengerakkan fungsi motorik suaranya. Resiko ini bisa semakin parah jika ada riwayat keluarga yang ternyata punya keterlambatan bicara juga.
Speech delay ini biasanya terjadi pada anak yang sudah diberikan gadget pada masa 1000 hari pertumbuhannya atau usia kurang dari 2 tahun. Sementara bagi anak usia di atas 2 tahun, membawa resiko penyakit obesitas dan juga diabetes dini karena kurangnya gerak akibat terlalu lama diam ketika bermain gadget. (sumber : ibupedia.com)
Saya syukur Alhamdulillah tidak memberikan gadget pada masa awal kelahiran anak saya. Sehingga tumbuh kembang anak saya bisa normal. Sudah bisa berjalan di usia satu tahun dan sudah bisa bicara pada usia yang sudah seharusnya.
Pemberian gadget saya lakukan ketika anak pertama saya memasuki usia sekolah taman kanak-kanak. Itu pun dengan alasan membuat anak tenang dari rengekan karena bosan tadi. Sementara saya juga disibukkan dengan gadget untuk urusan pekerjaan. Klop deh.
Mungkin kesalahan saya juga yang menggunakan handphone dan laptop hampir seharian. Anak-anak jadi melihat saya dan penasaran ingin mencoba juga. Si kakak bahkan mengutarakan keinginannya untuk bisa mengetik di laptop seperti saya.
Anak adalah imitasi orang tuanya. Apa yang dilakukan anak-anak, biasanya karena melihat apa yang dilakukan orang tuanya. Ini yang terjadi pada saya dan sepenuhnya saya sadari.
Bagaimana lagi, pekerjaan saya menulis di laptop dan berbagai pekerjaan dipantau lewat handphone. Artinya saya tidak bisa lepas dari kedua gadget tersebut. Ditambah suami juga sesekali mengecek handphone untuk melihat kabar terbaru dari pekerjaan dan juga teman-temannya.
Anak-anak secara langsung dan sadar melihat kami selalu berkutat dengan handphone. Meskipun saya dan suami pada akhirnya membatasi aktivitas kami, kecuali saya karena saya setiap hari harus mengetik di laptop. Tetap saja penggunaan gadget pada anak saya harus dibatasi.
Pengaruh Gadget pada Anak
Saya ingat, sayalah yang memperkenalkan game di handphone pada anak pertama saya. Saat itu anak saya sedang rewel dan bosan, tapi tidak bisa mengungkapkan apa yang sedang terjadi padanya. Saya kenalkan game kepadanya dan saya temani. Ternyata anak saya senang dan keterusan menontonnya. Bahkan menjadi mahir dan kreatif.
Awalnya saya menjadi tenang dengan perkembangan anak saya yang menjadi lebih pendiam dan tidak rewel lagi. Senangnya lagi, anak saya jadi makin pintar. Games yang biasa saja sampai yang tersulit, bisa dengan cepat dikuasainya. Bahkan anak saya jadi suka matematika, ketika ada games edukasi yang berkaitan dengan berhitung.
Masalah mulai muncul ketika anak saya mulai ketergantungan. Jika handphone saya ambil, anak saya jadi marah dan mudah tersinggung. Temperamentalnya pun berubah jadi keras. Saat itulah suami saya menegur saya untuk tidak memberikan handphone kepada anak saya. Setelah saya turuti saran suami, anak saya jadi lebih kalem lagi.
Pengaruh Negatif Gadget pada Anak
Munculnya pengaruh buruk yang ditimbulkan akibat penggunaan handphone, mengingatkan saya pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Craig Anderson, mengenai “Violent Video Game Effects on Children and Adolescents : Theoru, Research, and Public Policy” tahun 2007 yang dilansir dalam ibupedia.com.
Disebutkan dalam penelitian tersebut, bahwa anak yang menggunakan gadget terlalu lama, terutama untuk bermain video game, cenderung akan bersikap lebih agresif daripada biasanya. Apalagi jika games yang dimainkannya ternyata mengandung kekerasan.
Saya beberapa kali memergoki anak saya memainkan games kekerasan seperti dua orang yang berkelahi atau main tinju. Selebihnya saya sering kecolongan, karena anak jadi main petak umpet sama saya.
Kalau ada saya, gamenya akan diubah menjadi game anak-anak biasa yang edukatif, seperti pengenalan angka atau huruf. Tapi kalau saya tidak ada di hadapannya, anak saya langsung bermain games kekerasan tadi. Pantas saja anak saya jadi mudah marah.
Sejak saat itu, saya pun benar-benar menstop anak saya untuk memegang handphone. Awalnya agak susah karena anak mulai rewel. Tapi lama-lama saya bisa mengalihkan perhatiannya lewat nonton tv, bermain mainan mobil-mobilan miliknya yang banyak banget, atau menggambar dan belajar bersama.
Apakah perubahan yang terjadi pada anak saya terlihat secara langsung dengan perubahan tersebut? Ternyata tidak secepat itu. Karena ada beberapa pengaruh negative yang saya amati terjadi pada anak saya, seperti :
Kurang Sosialisasi
Anak pertama saya memang dasarnya pemalu. Mungkin karena anak saya tidak diijinkan keluar rumah dan jarang bertemu orang di luar, sehingga ketika berada dalam keramaian, anak saya menjadi kebingungan dan menjauh.
Sifat anak saya tersebut sama seperti sifat saya waktu kecil. Jadi saya bisa merasakan apa yang terjadi dengan anak saya. Orang lain akan menganggap anak saya sombong karena tidak mau bergabung dengan temannya. Padahal yang terjadi adalah anak saya butuh diajak terlebih dulu untuk bergabung.
Rasa minder dan takut karena tidak mengenal orang baru, membuat anak saya merasa berbeda dan tidak aman ketika bersama orang asing. Itulah yang terjadi sebenarnya. Bukan sombong. Ini terbukti ketika anak saya akhirnya mau bergabung setelah diajak oleh teman sebayanya. Anak saya juga cerita ke saya kalau diajak temannya dan menceritakan keseruan ketika bermain dengan teman sebayanya.
Gadget membuat anak saya kembali menjadi pendiam dan kurang pergaulan. Di hadapannya hanya gadget, benda mati yang selalu menemaninya bermain. Itulah kenapa penggunaan gadget terlalu lama, akan membuat anak merasa nyaman. Sehingga lupa bahwa di luar sana ada teman sebayanya yang ingin mengajaknya bermain juga.
Kurang Bergerak
Anak-anak butuh gerak untuk melatih perkembangan motoriknya. Terutama anak-anak dibawah usia 5 tahun. Usia yang termasuk dalam masa golden age ini adalah usia emas yang terjadi satu kali seumur hidup. Di masa ini semua organ tubuhnya tumbuh perlahan dan berkembang sesuai dengan apa yang dilihat dan didengarnya.
Sayang sekali jika masa emas ini hanya dipakai untuk duduk manis sambil nonton gadget. Sementara banyak aktivitas di luar sana yang bisa dieksplor. Seperti berlari, kejar-kejaran, melombat, berkebun, dll.
Saya mencoba menstimulasi anak saya dengan bergerak apa saja. Tak ada larangan sebatas berada dalam pengawasan saya dan suami. Bahkan ketika anak saya jatuh karena berlari dan terluka, saya akan mengatakan semua baik-baik saja. Kalau lari ya bisa jatuh. Tidak apa-apa menangis, nanti lukanya diobati. Setelah itu lari lagi saja.
Anak saya memang menangis ketika terluka dan terjatuh. Tapi tidak sampai trauma. Tidak apa-apa jatuh, atau tangannya kotor ketika diajak papanya berkebun, atau basah ketika menyiram tanaman, atau bajunya kotor kena tanah. Semua itu baik untuk tumbuh kembang anak. Dengan melakukan semua gerakan tersebut, tubuh anak juga secara tak langsung akan membentuk antibody dan anak-anak bisa belajar banyak.
Sedih kan kalau semua tumbuh kembang anak tersebut itu tidak terjadi karena anak hanya sibuk bermain gadget dengan duduk diam. Anak anak akan kehilangan kesempatan serunya berlari, memanjat, terjatuh dan berbagai aktivitas menyenangkan lainnya.
Dunia anak-anak itu menyenangkan, akan sayang sekali jika dilewatkan begitu saja hanya dengan menenggelamkan diri dalam permainan handphone atau laptop.
Ketergantungan Gadget
Saya sempat stress ketika anak saya selalu rewel setiap kali saya mengambil handphone darinya. Anak saya benar-benar kecanduan gadget. Temperamentalnya pun meningkat dan jadi mudah marah. Ketika pada akhirnya saya bisa menghentikan anak-anak untuk menyentuh handphone, butuh waktu untuk anak beradaptasi.
Tak masalah jika anak marah ketika kita mengambil handphone darinya. Lebih baik marahnya sekarang dan akan segera dilupakan. Daripada dibiarkan terus menerus dan beraktibat anak hidup dalam dunia maya, lupa dengan kehidupan nyata dimana ada orang-orang tercinta di sekitarnya.
Emosi Tak Terkendali
Emosi tak terkendali ini berkaitan dengan sikap agresif yang sudah saya jelaskan di atas. Anak jadi murah marah karena pengaruh tontonan yang dilihat anak. Karena itu penting bagi orang tua yang memutuskan memberikan gadget pada anak, untuk memperhatikan jenis tontonan yang baik untuk anak. Dipantau dan diawasi juga oleh orangtua dan dibatasi waktunya.
Anak yang memakai gadget akan merasakan kenyamanan dalam dunianya sendiri. Karena itulah ketika handphone diambil darinya, anak jadi marah karena dunianya hilang. Orang tua perlu menarik anak keluar dari dunia alam mayanya, agar anak bisa berinteraksi dengan lingkungan sekitar secara nyata.
Tidur Anak jadi Terganggu
Anak saya tidurnya larut malam. Jika anak kecil biasanya tidur jam 7 atau 8 malam, anak saya bisa tidur jam 11 atau 12 malam sejak mainan games di handphone. Akibatnya anak saya selalu bangun siang dan terkadang mimpi buruk.
Kondisi ini tentu saja membuat saya khawatir. Karenanya saya pun memutuskan untuk membatasi penggunaan handphone kepada anak saya dan terbukti sekarang anak saya jarang mimpi buruk lagi.
Terpapar Radiasi
Masih dalam artikel yang dilansir di ibupedia.com mengenai radisi pada handphone, disebutkan bahwa ada sejumlah energi frekuensi radio yang dipancarkan gadget dalam bentuk radiasi elektromagnetik yang tidak terionisasi. Artinya ada ion bebas yang menggantung di udara karena tidak memiliki pasangan dalam molekulnya.
Ion bebas seperti ini tentu saja akan mencari pasangan dengan menempel ke benda yang paling dekat dengannya. Dalam ilmu kimia, kecenderungan ion bebas seperti ini terjadi alamiah pada unsur atau molekul untuk membentuk zat mulia. Dimana setiap molekul harus berpasangan untuk bisa tetap di tempat. Ion yang tidak punya pasangan akan meloncat ke unsur lain agar punya tempat. Loncatan ion inilah yang disebut radiasi.
Radiasi yang terjadi terus menerus akan sangat berbahaya bagi sel hidup yang dihinggapi. Karena bisa merusak sel dan menyebabkan penyakit.
International Agency for Research on Cancer (IARC) pada tahun 2011 pernah menyebutkan jika radiasi yang dikeluarkan oleh handphone memiliki resiko karsinogenesis atau menumbuhkan gen penyebab kanker.
Tidak mau kan kalau anak kita terkena kanker akibat terlalu lama terkena radiasi dari handphone.
Kemungkinan kanker memang terjadi ketika penggunaan handphone sudah melewati batas penggunaan wajar. Kalaupun harus lebih lama, anak tetap harus mengistirahatkan matanya dengan melakukan kegiatan selingan seperti mengalihkan perhatian dari gadget beberapa saat, agar radiasi tidak masuk lebih banyak.
Selain lamanya anak memandang ke arah gadget di depannya, jarak pandang antara anak dengan gadgetnya pun harus diperhatikan. Usahakan sesuai aturan baca normal yaitu minimal 30 cm dari mata. Jangan terlalu dekat karena bisa membuat mata anak menjadi mudah lelah.
Pengaruh Positif Gadget pada Anak
Gadget memang memberikan pengaruh buruk kepada anak saya. Tapi ternyata tidak selamanya buruk loh. Ada juga sisi positif dari penggunaan handphone maupun laptop, asalkan diawasi oleh orang tua, seperti yang terjadi dengan anak kedua saya, Alia.
Anak kedua saya melihat aktivitas menyenagkan kakaknya ketika bermian gadget. Jadilah rasa penasaran itu muncul dan akhirnya minta dijinkan untuk main handphone juga. Awalnya untuk foto-foto atau membuat video, lama-lama ikutan menonton youtube.
Channel yang disukai anak kedua saya adalah channel baby bus yang isinya kartun lucu dan edukatif, juga beberapa channel yang menunjukkan cara menggambar dan mewarnai. Sejak sering menonton channel itu, anak kedua saya jadi suka mewarna dan menggambar. Bahkan bisa mempraktikkan bicara bahasa Inggris meskipun masih belum lancar.
Anak pertama saya cukup jera untuk bermain games di handphone, sehingga yang ditontonya adalah channel youtube yang menunjukkan aktivitas anak-anak seusianya. Channel pilihannya adalah Vlat and Niki, serta Ryan Toys Review. Channel sebuah keluarga yang menggambarkan aktivitas Ryan ditemani orangtua dan kedua adiknya. Sementara Vlat and Niki juga menggambarkan aktivitas mereka bermain dan belajar bersama maminya.
Suami mengalihkan tontonan youtube ke televisi agar anak-anak bisa menonton lebih lega. Dengan demikian saya dan suami, serta kakek neneknya anak-anak bisa melihat langsung apa yang ditonton anak-anak. Tenang jadinya, karena menonton di youtube berasa seperti menonton film dan kami tahu kalau tontonan itu edukatif dan positif.
Saya cukup tercengang dong. Ternyata penggunaan gadget tidak semuanya negatif. Kalau kita bisa memilihkan channel yang edukatif untuk anak, dan mengarahkan penggunaan handhphone untuk hal-hal positif, pengaruhnya kepada anak juga bisa positif, diantaranya :
Mengasah Kreativitas Anak
Tontonan di youtube banyak yang edukatif kok. Seperti channel yang memperlihatkan ketrampilan membuat berbagai kreasi dari kardus, atau channel yang memperlihatkan kemampuan beberapa orang dewasa yang mahir melempar botol berisi air tepat pada tempatnya.
Anak saya ikut mencoba berbagai trik yang dilihatnya di youtube. Ketika berhasil melakukannya, anak saya akan menjadi senang sekali. Begitu juga ketika anak saya berhasil membuat berbagai macam kreativitas seperti membuat mainan dari kardus, membuat percobaan kecil gunung meletus dengan menggunakan balon, soda dan permen.
Anak jadi makin kreatif ketika tontonan yang dilihatnya juga mengandung kreativitas yang tinggi. Anak akan meniru dengan sempurna sampai berhasil seperti yang dilihatnya di youtube.
Mengurangi Stress pada Anak
Saya membuktikan jika stress anak saya berkurang ketika saya mengijinkannya bermain game di handphone atau menonton youtube kesukaannya. Tapi tetap harus dubatasi waktunya dan bisa diawasi. Untuk menghindari anak saya curi-curi tontonan seperti waktu bermain games kekerasan, maka acaranya nontonnya dipindah ke televisi.
Alhamdulillah smart tv di rumah bisa dipakai untuk menonton youtube. Layarnya lebih lebar, sehingga anak-anak bisa nyaman ketika melihat youtube channel kesukaannya. Anak senang, orang tua tenang karena bisa melihat juga tayangan yang ditonton anak, dan stress anak pun hilang. Lega kan.
Meningkatkan Kemampuan Berpikir pada Anak
Anak pertama saya beberapa kali menguji kemampuannya sendiri di depan saya. Setelah menonton tayangan channel youtube tentang berhitung, anak saya bicara di depan saya.
“Ma, 10 dikali 10 itu sama seratus ya. Terus 20 ditambah 30 itu 50 ya.”
Saya tercengang dong. ketika saya bertanya darimana kakak tahu, dengan jujurnya si kakak bilang dari channel youtube yang baru saja dia tonton. Bahkan anak pertama dan anak kedua saya bisa menghafalkan angka satu sampai seribu dalam bahasa inggris setelah menonton channel yotube tentang angka.
Alhamdulillah kan, anak saya bisa belajar bahasa Inggris dari youtube. Padahal di sekolahnya belum diajari. Bahkan anak kedua saya belum sekolah. Tapi sudah bisa menyebutkan angka satu sampai seribu dalam bahasa Inggris. Begitu juga penyebutan warna dalam bahasa Inggris. Red, green, yellow, blue, black, white, purple, dan lain-lain. Alhamdulillah…
Aturan Penggunaan Gadget pada Anak
Gadget memang terbukti membawa berbagai pengaruh pada tumbuh kembang anak. Baik pengaruh negative maupun positive. Keduanya tentu harus bisa dipahami oleh orang tua sebagai pengawas sekaligus pengendali anak-anak, karena besar kecilnya pengaruh gadget pada anak tergantung pada seberapa besar pengawasan orang tuanya.
Psikolog klinik anak dari Mutiara Edu Sensory dan juga Tiga Generasi, Marcelina Melisa Dewi, S. P.Si. M. Psi, menyatakan bahwa internet ternyata akan lebih menyenangkan bagi anak ketika para orang tuanya mengetahui batasan yang diberikan kepada mereka. Dengan begitu, orang tua akan lebih mudah mengukur besar kecilnya pengaruh gadget pada tumbuh kembang anaknya.
Ukuran besar kecilnya pengaruh gadget pada anak itulah yang bisa kita jadikan tolak ukur untuk menerapkan aturan penggunaan gadget pada anak, seperti :
Berapa Lama Memakai Gadget
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) memberikan toleransi waktu selama 1 jam bagi anak usia 3-6 tahun untuk memakai gadget. Sementara bagi anak di usia lebih dari itu bisa lebih panjang durasi waktunya, tapi tetap harus dibatasi. Misal 2 jam atau 3 jam.
Anak saya terkadang melewati batas waktu normal tersebut. Namun ketika saya menegurnya, anak-anak menurut dan langsung meletakkan handphonenya. Dalam hal ini memang dibutuhkan ketegasan orang tua, agar anak bisa lebih terkontrol.
Kapan Harus Memakai Gadget
Saya memberikan handphone kepada anak pertama saya ketika ada hubungannya dengan sekolah. Misal ada video pembelajaran yang dikirim gurunya di sekolah dan harus ditonton. Begitu juga ketika gurunya melakukan temu muka lewat goole meet dengan anak-anak.
Selain waktu sekolah, saya membolehkan anak saya memegang handphone ketika anak-anak sudah belajar, sudah makan, sudah mandi, dan sudah melakukan hal penting lainnya. Artinya anak-anak sudah dalam keadaan santai atau memang sedang stress. Itu pun dengan batas waktu yang sudah saya dan suami tetapkan.
Apa yang dilakukan Ketika Sedang Tidak Memakai Gadget
Pasti susah melakukan kegiatan lain ketika anak anak sudah terbiasa memakai gadget. Orang tua yang harus berpikir untuk mencarikan kegiatan positif untuk anak-anak, sehingga kesenangan anak tidak hilang.
Saya biasanya mengajak anak-anak bermain petak umpet bersama, ikut mainan mobil-mobilan dan masak-masakan bersama kedua anak saya, atau ikut berkebun bersama papanya anak-anak, atau belajar bersama. Apa saja yang penting orang tua terlibat di dalamnya.
Tontonan yang diperbolehkan untuk dilihat di Youtube
Saya dan suami tegas dalam memilih tontonan yang boleh dilihat anak-anak. Tontonan keluarga seperti Ryan Toys Review dan Vlat and Niki adalah contoh tontonan mendidik yang kami perbolehkan. Atau channel baby bus untuk anak kedua saya dan channel menggambar serta mewarnai untuk mengasah kemampuannya dalam melatih gerakan tangan.
Selama tontonan yang dilihat anak-anak bisa membuat anak-anak semakin kreatif dan pintar, saya dan suami pasti akan mengijinkan. Nontonnya pun tidak di handphone, melainkan di smart tv sehingga semua anggota keluarga bisa ikut menonton. Tidak ada lagi petak umpet kan.
Gagdet bukan Milik anak, tapi dipinjamkan oleh orang tuanya
Satu hal yang perlu ditekankan adalah gadget tetap milik orang tua, bukan milik anak anak. Ketika orang tua membelikan anak-anaknya gadget, rasa kepemilikan itulah yang membuat mereka merasa punya hak sepenuhnya terhadap tontonan yang mereka lihat.
Berbeda jika anak-anak ditekankan bahwa gadget yang mereka pakai adalah milik orang tua. Anak-anak hanya meminjam, sehingga ketika orang tua meminta, anak-anak akan memberikannya dengan lebih ikhlas.
Hal seperti inilah yang saya tekankan kepada anak saya. Mereka boleh memiliki handphone sendiri nanti ketika sudah besar dan bisa mengerti arti handphone untuk mereka. Sebelum mencapai masa itu, handphone tetap milik saya, sehingga ketika saya meminta handphone saya, mereka tak boleh menahannya dan meminta ijin kembali ketika mau memakainya lagi.
Perlunya Dukungan Orang tua pada Anak
Disadari atau tidak, pilihan anak untuk menggunakan gadget sebenarnya adalah salah satu bentuk protes terhadap sikap orang tua kepada mereka. Sama seperti saya yang lebih banyak menggunakan gadget untuk bekerja, anak-anak pun ingin merasakan kenyamanan menggunakan gadget seperti orang tuanya.
Itulah mengapa orang tua tidak bisa menyalahkan anak sepenuhnya ketika mereka menyukai memakai gadget. Dalam hal ini, orang tua perlu instrospeksi diri dengan cara memberi dukungan positif terhadap tontonan yang dilihat anak-anak melalui gadget.
Ketika tidak mendapat dukungan dari orang tuanya, anak saya akan sedih dan menangis, lalu akan berinisiatif untuk membuat saya mendukungnya. Caranya dengan meminta persetujuan games apa yang boleh dimainkannya dan mana yang tidak boleh.
Seiring berjalannya waktu, saya memperhatikan anak saya perlahan mulai mempelajari aturan yang saya berlakukan kepadanya. Untuk mendapatkan dukungan dari saya dan suami, anak saya akan mematuhi aturan yang saya berikan. Ketika dirinya melanggar, anak saya akan meminta maaf dan segera memperbaiki kesalahannya.
Dari sini saya melihat adanya perkembangan otak yang terjadi pada anak saya. Bukan hanya kreatif dan inovatif, tapi juga solutif. Tujuannya adalah untuk mendapatkan perhatian orang tua lewat dukungan terhadap apapun yang dikerjakannya.
Kemajuan yang saya rasakan dari kebiasaan anak saya menonton Ryan Toys Review adalah keberanian anak saya untuk bicara di depan kamera. Ini penting untuk mengerjakan tugas sekolah ketika disuruh membuat video dan dikirim ke wali kelasnya.
Sebelumnya anak saya termasuk penakut dan malu ketika diminta bicara di depan kamera. Tapi setelah saya mendukungnya untuk bisa berani bicara di depan kamera seperti Ryan, anak pertama saya pun tertantang dan akhirnya memberanikan diri untuk bisa. Ketika berhasil, anak saya jadi termotivasi untuk melakukan lebih banyak lagi seperti Ryan.
Dari sini saya semakin sadar, bahwa anak-anak memang butuh perhatian kita selaku orang tuanya. Apapun yang dilakukan anak, pastilah karena melihat apa yang kita lakukan. Untuk itu perlu bagi kita untuk mengoreksi diri sendiri. Bukan dengan menghentikan apa yang sudah kita lakukan, melainkan dengan memberi dukungan terhadap apa yang sudah dilakukan anak.
Jadi kalau ditanya apakah gadget itu momok atau prestasi bagi anak? Jawaban saya adalah keduanya. Tergantung bagaimana kita sebagai orang tua memperlakukan gadget untuk anak-anak kita.
Yuk dukung terus anak-anak kita agar mereka bisa tumbuh menjadi anak percaya diri, cerdas dan membanggakan.
**
Referensi :
https://www.ibupedia.com/artikel/balita/pilihan-20-channel-youtube-anak-edukatif-dan-interaktif
https://www.ibupedia.com/artikel/balita/5-tips-menerapkan-aturan-untuk-anak-bermain-gadget
18 Comments. Leave new
Kalo tanpa kontrol penggunaan gadget pada anak memang lebih banyak pengaruh negatifnya ketimbang positifnya. Jadi ortu harus hati-hati dalam pemberian gadget pada anak2. Ada pembatasan, kontrol, dan pendampingan
bener mas. Makanya meski dikasih gadget tetap harus ada batasan waktu dan mengalihkan perhatian anak kepada kegiatan bergerak, seperti bermain, berkebun, olahraga, dll.
Setuju banget!
Peran orang terdekat, terutama orang tua sangat penting untuk anak. Termasuk membuat gadget menjadi momok atau prestasi. Semangat terus mba Indah!
Artikelnya kece uwuwuwu
Makasih mbak icha. Sebentar lagi mbak icha juga jadi orang tua. pasti lebih siap nih karena sudah ngerti dunia parenting dan anak anak. Aku dulu sek nol potol. wkwkwk
Saya juga tipe yang memberikan anak gadet karena nggak bisa dipungkiri dia lahir di era dimana teknologi akrab dalam genggaman. Tapi tetap ada batasan dan aturannya. Kalau sudah habis waktunya mau nangis kejer juga nggak akan saya kasih. Cuma memang kendalanya ketika anggota keluarga lain nggak kompak, pas kita tegas malah dibilang tega sama anak. Suka duka parenting 😀
bener mbak. memang harus ada kekompakan orang tua atau anggota keluarga yang lain. kasih pengertian ini itu. tapi susah ya kalau anggota keluarga lain itu kakek neneknya. kita kan gak bisa ngelawan orang tua ya. Ya gimana kitanya aja sebagai orang tua ngatur pemakaian gadget buat anak. dilema parenting juga ya. wkkwkk
Sama.saya juga sekarang mengalihkan nonton bersama di youtube… biar tau juga apa yang ditonton anak.. dan bisa ikutan nimbrung…
Jadi lebih terpantau ya bang. Biar kita tahu apa yang lagi ditonton sama anak anak
Anak-anak generasi alpha sudah sewajarnya mengenal gadget lebih dini dari kita generasi terdahulu. Lihat aja contohnya sekarang apa-apa serba online. Sampai belajar pun online. Kalo saya dulu baru kenal HP pas kelas 2 SMA. Anak saya sekarang umur 5 tahun sudah pegang HP, walau pun cuma Sabtu dan Minggu.
Speech delay itu benar banget mba. Banyak kasus anak mengalami speech delay, salah satunya karena terlalu banyak melihat gadget dan menonton TV. Bertentangan dengan anggapan kita bahwa anak ketika ditontonkan lagu-lagu anak di TV misalnya, itu dia terdorong cepat bicara.
Makanya dokter anak saat menghadapi pasien anak yang terlambat bicara biasanya menyarankan diet elektronik. Menarik ya info-info penting seperti ini bisa kita ketahui dari ibupedia.
Bener mbak. informasi ibupedia penting semua dan datanya pun valid. kita sebagai orang tua jadi teredukasi dan banyak belajar dari sana
Hihi… emang kadang dilema juga ya mbak. Lha sejak anak lahir, dia udah di jepret pakai kamera hp ortunya. Hampir tiap hari lihat ortunya pegang hp, jiwa penasarannya pun meronta pengen tahu.
Emang mesti bijak ya kedua ortunya, harus satu kata kalau urusan gadget pada anak.
bener mbak. PR banget buat kita para orang tua ya.
Ya Allah, sama dilemanya, Mak! Tapi, kuncinya emang kita juga harus beneran mengawasi. Kadang kita udah bikin peraturan, cuma kita kurang dalam memperhatikan, ya sering kebablasan jadinya. Semangat yuk! Lindungi anak, dari bahaya gadget, tapi pastikan mereka juga dpaat ilmu banyak dari sana 😉
diarahkan ke hal yang positif aja mbak. Seperti belajar online atau permainan edukatif seperti berhitung dan belajar bahasa inggris. saya gitu sekarang. soalnya kalau disuruh lepas dari gadget susah juga. hehe
Menurut saya kalau anak diberikan gadget pastikan bahwa fungsinya memang sesuai dengan kebutuhan tapi kalau dibebaskan begitu saja takutnya malah anak dapat informasi yang ga benar ya dari berbagai aplikasi di gadget
iya mbak. makanya anak saya melihat youtube nya di televisi agar kita sebagai orang tua bisa mengontrolnya. kalaupun lihatnya di hp, orang tua harus lihat apa yang sedang ditonton anak dan gak ada lagi main kucing-kucingnya.
Mesti butuh banyak peralihan dari memegang gadget ya buat anak-anak ini. Pandemi begini memang lebih susah untuk mengatur soal ini. Sebab peralihannya jadi lebih terbatas. Yang biasanya main sama anak2 lain diluar sekarang jadi gak bisa.
Bener bang. orang tua harus kreatif memikirkan cara agar anak anak tetap bisa mainan tanpa harus bergantung pada gadget